Jasa sewa pacar, yang pertama kali muncul di negara-negara Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan pada awal 2000-an, kini mulai merambah ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Layanan ini menawarkan berbagai paket yang memungkinkan pengguna untuk menyewa pasangan dengan tujuan tertentu, mulai dari mendampingi di acara sosial hingga memenuhi ekspektasi sosial, seperti menghindari pertanyaan seputar status hubungan. Meskipun fenomena ini belum sepopuler di negara asalnya, di kota besar seperti Jakarta, keberadaannya mulai terlihat (oleh sebagian orang) sebagai solusi bagi mereka yang merasa kesulitan membangun hubungan sosial yang mendalam.
Fenomena ini terkait erat dengan perubahan besar dalam struktur sosial masyarakat, yang kini lebih mengutamakan individualisme. Di era digital yang semakin terhubung namun terpisah secara emosional, banyak orang merasa kesulitan dalam menjalin hubungan yang tulus. Laporan Pew Research Center (2023) menunjukkan bahwa sekitar 30% orang dewasa di Amerika Serikat merasa kesepian secara teratur, dengan tingkat kesepian tertinggi pada individu berusia 18 hingga 29 tahun. Survei serupa di Indonesia pun menunjukkan kecenderungan yang sama, dengan banyak individu yang merasa kesulitan membangun hubungan sosial yang mendalam, terhalang oleh kesibukan, ekspektasi untuk sukses, dan budaya kemandirian.
Dalam konteks ini, jasa sewa pacar kemudian muncul sebagai solusi praktis yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan sosial yang mendesak tanpa perlu terikat pada hubungan jangka panjang. Jasa ini juga dianggap memberikan kesempatan bagi individu untuk memenuhi harapan sosial atau citra tertentu, tanpa terjebak dalam dinamika hubungan emosional yang lebih kompleks. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan sosial di zaman sekarang lebih pragmatis dan terfokus pada pemenuhan kebutuhan praktis daripada nilai-nilai emosional yang biasanya mendalam dalam hubungan jangka panjang.
Analisis Teoritis
Fenomena jasa sewa pacar ini dapat dianalisis melalui beberapa teori sosial, yang membantu kita memahami dampaknya terhadap hubungan sosial dan struktur masyarakat. Salah satu teori yang relevan adalah Teori Interaksionisme Simbolik, yang dipelopori oleh George Herbert Mead dan Herbert Blumer. Menurut teori ini, identitas seseorang terbentuk melalui interaksi sosial dan makna yang diberikan dalam interaksi tersebut. Dalam kasus jasa sewa pacar, individu yang menggunakannya berusaha memenuhi ekspektasi sosial atau citra yang ingin ditampilkan kepada orang lain, tanpa terikat pada hubungan emosional yang sesungguhnya. Interaksi sosial menjadi lebih berfokus pada fungsi sosial yang harus dipenuhi, yaitu tampak "bahagia" atau "memiliki pasangan," daripada membangun ikatan yang lebih dalam dan autentik.
Selain itu, fenomena ini juga dapat dianalisis dengan pendekatan Teori Fungsionalisme oleh Talcott Parsons. Teori ini menganggap bahwa masyarakat adalah sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan bekerja sama untuk mencapai keseimbangan sosial. Dalam masyarakat yang semakin mengedepankan nilai kebebasan dan pencapaian individu, kebutuhan akan hubungan sosial yang lebih fungsional dan minim komitmen menjadi semakin besar. Jasa sewa pacar dilihat sebagai respons terhadap ketidakseimbangan dalam struktur sosial yang mengarah pada kebutuhan hubungan yang lebih fleksibel dan terarah pada pemenuhan kebutuhan praktis tanpa komitmen jangka panjang.
Dampak Sosial
Namun, meskipun fenomena ini dianggap dapat memberikan solusi instan terhadap kebutuhan sosial tertentu, ia dapat menimbulkan dampak negatif dalam jangka panjang. Salah satunya adalah meningkatnya hubungan yang bersifat transaksional, di mana kehadiran pasangan tidak didasarkan pada kedalaman emosional atau komitmen, melainkan pada pemenuhan kebutuhan sosial tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Mental Health (NIMH) pada 2022 menunjukkan bahwa hubungan transaksional dapat mengurangi kemampuan individu untuk membangun hubungan yang lebih autentik dan penuh makna. Hal ini berpotensi menurunkan kualitas ikatan emosional yang diperlukan untuk menjaga stabilitas sosial dan kesehatan mental.
Fenomena ini juga mencerminkan perubahan dalam pola hubungan keluarga dan nilai sosial yang lebih luas. Di Indonesia, yang memiliki budaya yang sangat menghargai nilai keluarga dan komitmen dalam hubungan, fenomena ini menimbulkan pertanyaan mengenai pergeseran nilai sosial. Teori Modernitas yang dikemukakan oleh Anthony Giddens menyebutkan bahwa dalam masyarakat modern, nilai-nilai tradisional mulai digantikan oleh nilai-nilai yang lebih individualistis dan pragmatis. Jasa sewa pacar merupakan contoh bagaimana modernitas membawa perubahan dalam cara individu membangun hubungan sosial. Masyarakat yang lebih mengutamakan kebebasan dan kemandirian pribadi semakin menghindari hubungan yang dianggap mengikat, dan memilih alternatif yang lebih fleksibel.
Sebagai contoh, laporan dari Laporan Penelitian Masyarakat (LPM) 2023 menyebutkan bahwa sekitar 40% dari generasi muda di kota-kota besar Indonesia lebih memilih hubungan yang fleksibel dan tidak terikat pada komitmen jangka panjang. Aplikasi kencan dan media sosial juga turut mempermudah individu untuk mencari hubungan sosial yang sesuai dengan kebutuhan mereka, tanpa harus terikat pada komitmen emosional yang lebih dalam. Dalam masyarakat yang semakin terfragmentasi ini, individu cenderung mencari cara-cara praktis untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka, tanpa memikirkan dampak jangka panjang terhadap kualitas hubungan itu sendiri.