Mohon tunggu...
Saiful Bahri. M.AP
Saiful Bahri. M.AP Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Masalah Sosial, Politik dan Kebijakan Publik

CPIS - Center for Public Interest Studies

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pesona Kotak Kosong: Pasifitas Dalam Demokrasi

3 Desember 2024   21:20 Diperbarui: 3 Desember 2024   21:24 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasifitas dalam demokrasi kini menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan dalam sistem politik modern, baik di Indonesia maupun di banyak negara lain. Salah satu bentuk dari pasifitas ini dapat terlihat dalam pemilu atau pilkada, di mana munculnya pilihan kotak kosong mencerminkan ketidakaktifan atau ketidakpuasan masyarakat terhadap calon yang ada. Fenomena ini, meskipun tampak sederhana, menyimpan makna yang jauh lebih dalam dan penting, yang tidak hanya berkaitan dengan ketidakpercayaan terhadap calon pemimpin, tetapi juga terhadap sistem politik itu sendiri. Dalam banyak kasus, pilihan kotak kosong muncul sebagai bentuk protes terhadap ketidakpuasan terhadap calon yang tersedia, atau sebagai reaksi terhadap sistem politik yang dianggap tidak mewakili kepentingan rakyat secara adil.

Di Indonesia, fenomena kotak kosong sering kali hadir dalam pilkada, di mana masyarakat memilih untuk tidak memilih calon yang ada dengan memilih kotak kosong sebagai alternatif. Dalam banyak hal, ini menjadi simbol ketidakpercayaan terhadap pilihan yang dihadirkan oleh partai politik. Hal ini juga mengindikasikan adanya ketidakpuasan yang mendalam terhadap politikus dan partai-partai politik, yang dianggap tidak cukup mewakili aspirasi rakyat.

Demokrasi dan Partisipasi Warga Negara

Demokrasi, sebagaimana dipahami dalam teori-teori klasik, merupakan sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai sumber utama kekuasaan politik. Abraham Lincoln, dalam pidatonya yang terkenal di Gettysburg, menyatakan bahwa demokrasi adalah "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat." Dalam pandangan ini, inti dari demokrasi yang sejati adalah partisipasi aktif warga negara dalam proses politik. Partisipasi ini tidak hanya terbatas pada hak memilih dalam pemilu, tetapi juga mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan kebijakan, diskursus politik, dan aksi sosial yang mendukung pemerintahan yang representatif. Demokrasi yang sehat mengharuskan adanya hubungan yang saling terkait antara pemimpin dan rakyat, di mana kebijakan yang diambil mencerminkan kehendak rakyat.

Namun pada kenyataannya, semakin banyak masyarakat yang merasa teralienasi dari proses politik, terutama di negara-negara dengan tingkat ketidakpercayaan tinggi terhadap pemerintah dan sistem politiknya. Dalam konteks Indonesia, meskipun terdapat sistem pemilu yang terbuka dan demokratis, tingkat partisipasi politik masyarakat, khususnya dalam pemilu lokal atau pilkada, menunjukkan kecenderungan menurun. Menurut data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), meskipun angka partisipasi pemilih dalam pemilu nasional relatif stabil, tingkat partisipasi dalam pilkada sering kali jauh lebih rendah. Fenomena ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara sistem politik yang ada dengan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan yang seharusnya mencerminkan kehendak rakyat secara luas.

Teori Partisipasi dalam Demokrasi

Teori partisipasi dalam demokrasi telah banyak dibahas oleh para ilmuwan politik, salah satunya adalah teori demokrasi deliberatif yang dipopulerkan oleh Jurgen Habermas. Habermas berargumen bahwa demokrasi yang sejati tidak hanya bergantung pada pemilihan pemimpin melalui pemilu, tetapi juga pada partisipasi warga dalam diskursus politik yang terbuka dan inklusif. Bagi Habermas, partisipasi publik dalam diskusi politik, baik di ruang fisik maupun ruang virtual, memungkinkan terbentuknya opini publik yang rasional, yang pada gilirannya memengaruhi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Oleh karena itu, jika masyarakat memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu, hal itu tidak hanya mengancam legitimasi pemimpin terpilih, tetapi juga mengurangi kualitas demokrasi itu sendiri.

Salah satu konsekuensi dari rendahnya partisipasi adalah terjadinya "defisit demokrasi," yang mengarah pada ketidakpuasan publik terhadap pemerintah dan kebijakan yang diambil. Defisit ini juga dapat memperburuk ketimpangan dalam representasi politik, di mana kelompok-kelompok yang tidak aktif dalam pemilu merasa bahwa kepentingan mereka tidak diperhatikan. Fenomena kotak kosong dapat dilihat sebagai ekspresi dari ketidakpercayaan terhadap pilihan yang tersedia, yang seringkali didorong oleh ketidakpuasan terhadap cara kerja partai politik dan politisi yang dianggap lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat.

Fenomena Kotak Kosong Sebagai Simbol Protes 

Fenomena kotak kosong lebih dari sekadar pilihan teknis dalam pemilu, ini adalah bentuk ekspresi politik yang lebih dalam. Ketika pemilih memilih kotak kosong, mereka memberikan pernyataan politik yang kuat terhadap calon yang ada dan, dalam beberapa hal, terhadap seluruh sistem politik yang ada. Fenomena ini mencerminkan keputusasaan terhadap partai politik yang dianggap tidak mampu mewakili kepentingan rakyat atau bahkan keterasingan terhadap struktur politik yang ada. Dalam hal ini, kotak kosong menjadi simbol protes terhadap ketidakberdayaan individu dalam sistem politik, dan sering kali menggambarkan kecenderungan populasi untuk mencari alternatif yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun