Kebijakan perlindungan sosial bagi kelompok rentan di Indonesia memiliki peran penting dalam upaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Kelompok rentan ini meliputi masyarakat miskin, penyandang disabilitas, lansia, anak-anak, dan mereka yang tinggal di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).Â
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, sekitar 9,38% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan, sebagian besar berada di daerah terpencil dan kurang berkembang.
 Untuk itu, pemerintah telah mengalokasikan anggaran besar dalam berbagai program bantuan sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan bantuan langsung tunai lainnya, dengan tujuan mengurangi kesenjangan sosial serta meningkatkan kualitas hidup mereka.
Namun, meskipun anggaran yang dialokasikan cukup besar, implementasi kebijakan ini dihadapkan pada sejumlah tantangan besar, terutama dalam hal efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran. Menurut data Kementerian Keuangan, anggaran perlindungan sosial pada 2024 diperkirakan mencapai lebih dari Rp 500 triliun. Sayangnya, angka yang besar ini tidak serta-merta menjamin dampak yang maksimal.Â
Dalam konteks efisiensi, distribusi anggaran yang tidak merata, adanya hambatan birokrasi yang rumit, masalah koordinasi antar lembaga, serta lemahnya pengawasan sering kali menjadi penghalang utama dalam mengoptimalkan penggunaan anggaran. Penelitian oleh Mulyadi dan Rini (2022) mengungkapkan bahwa di daerah 3T, program perlindungan sosial sering tidak mencapai sasaran karena ketidakseimbangan distribusi sumber daya dan keterbatasan infrastruktur.
Selain masalah efisiensi, efektivitas kebijakan perlindungan sosial juga menjadi aspek yang tidak kalah penting. Teori kebijakan sosial dari Titmuss (1974) menekankan bahwa keberhasilan kebijakan perlindungan sosial tidak hanya bergantung pada besarnya anggaran, tetapi juga pada sejauh mana kebijakan tersebut benar-benar dapat menjangkau kelompok sasaran dan memberikan manfaat yang signifikan.Â
Meskipun anggaran perlindungan sosial terus meningkat, hasil yang tercapai seringkali tidak sebanding dengan dana yang digelontorkan. Hal ini terutama disebabkan oleh ketidakmampuan sistem distribusi yang ada dalam menjangkau seluruh kelompok rentan, terutama di daerah-daerah terpencil. Kajian Iskandar (2023) juga menunjukkan bahwa meskipun anggaran yang tersedia cukup besar, banyak penerima manfaat yang tidak merasakan dampaknya secara langsung akibat kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah serta kendala akses di wilayah yang sulit dijangkau.
Tantangan Efisiensi
Penting untuk dicatat bahwa tantangan efisiensi dalam kebijakan perlindungan sosial tidak hanya berfokus pada bagaimana anggaran dikelola, tetapi juga pada proses dan sistem yang mendukung distribusi bantuan sosial. Efisiensi ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk memastikan bahwa anggaran digunakan secara tepat sasaran dan tepat waktu, serta dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama yang berada di daerah-daerah yang membutuhkan perhatian lebih.
 Berikut adalah beberapa tantangan utama dalam mencapai efisiensi tersebut:
- Distribusi Anggaran yang Tidak Merata