Mohon tunggu...
Saiful Bahri. M.AP
Saiful Bahri. M.AP Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Masalah Sosial, Politik dan Kebijakan Publik

CPIS - Center for Public Interest Studies

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hambatan Interoperabilitas dan Ego Sektoral dalam Implementasi Kebijakan Satu Data Indonesia

27 November 2024   15:22 Diperbarui: 27 November 2024   15:22 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan Satu Data Indonesia (SDI), kebijakan yang dibuat untuk mengintegrasikan dan mensinkronkan data lintas instansi pemerintah di seluruh Indonesia. Tujuan utama adalah menciptakan sistem data yang lebih transparan, efisien, dan akurat yang dapat digunakan sebagai dasar membuat perencanaan kebijakan publik yang lebih baik. Harapannya, kebijakan yang dihasilkan dapat lebih meningkatkan akuntabilitas pemerintah, mempercepat proses pengambilan keputusan, serta meminimalisir duplikasi data yang bisa menyebabkan inefisiensi dalam pengelolaan sumber daya.

Dalam implementasinya, kebijakan Satu Data Indonesia ini bukannya tanpa hambatan. Hambatan pertama yang cukup signifikan adalah persoalan teknis yang terkait dengan interoperabilitas antar sistem data yang digunakan di berbagai instansi pemerintah. Data yang dikelola oleh seluruh instansi pemerintah Indonesia tersebar di lebih dari 2.700 server dan puluhan ribu aplikasi yang masing-masing menggunakan format yang berbeda. Ketidaksesuaian format data dan protokol yang digunakan ini kemudian menyebabkan kesulitan dalam pertukaran informasi antar instansi.

Hambatan lainnya, meskipun Kebijakan Satu Data Indonesia telah diperkenalkan sejak tahun 2019, adalah hambatan struktural antar instansi pemerintah juga masih belum bisa teratasi dengan baik. Misalnya saja masalah ego sektoral antar instansi pemerintah, banyak kementerian dan lembaga yang masih merasa bahwa data yang mereka kelola adalah "milik" masing-masing, dan seringkali enggan untuk berbagi data dengan instansi lain. Hal ini bukan hanya menambah kerumitan dalam integrasi data, tetapi juga memperlambat proses pengambilan keputusan berbasis data yang lebih efektif dan cepat.

Interoperabilitas Sistem yang Terfragmentasi

Hambatan utama dalam implementasi Kebijakan Satu Data Indonesia (SDI) adalah interoperabilitas antar sistem data yang dikelola oleh berbagai kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Data yang dikelola oleh instansi-instansi pemerintah ini sangat terfragmentasi. Setiap instansi memiliki sistem yang berbeda, dengan format dan standar yang juga beragam. Tentunya hal ini menyebabkan integrasi data, yang menjadi inti dari kebijakan SDI, menjadi sangat terkendala. Meskipun pemerintah telah berupaya untuk mendigitalisasi data, ketidakcocokan antar sistem masih menjadi hambatan besar.

Sebagai satu contoh konkret hambatan ini dapat dilihat pada data statistik yang dikelola oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan data kesehatan yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan. Kedua sektor ini memiliki sistem yang berbeda dan tidak selalu saling terhubung dengan baik. Meskipun BPS telah mengembangkan sistem data yang berbasis pada standar internasional, data yang dihasilkan dari sektor kesehatan seringkali tidak dapat langsung dianalisis bersama data statistik lainnya karena formatnya yang tidak kompatibel. Bahkan, meskipun ada upaya untuk meningkatkan Sistem Informasi Manajemen (SIM) di berbagai instansi, sering kali tidak ada protokol standar yang dapat menghubungkan data antara satu instansi dengan instansi lainnya.

Contoh lainnya, berdasar laporan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), meskipun beberapa kementerian seperti Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri telah mengimplementasikan sistem digital yang lebih terintegrasi, banyak instansi yang masih menggunakan sistem yang terpisah dan tidak dapat saling berkomunikasi secara langsung. Data yang tercatat di sistem Kementerian Keuangan, misalnya, sering kali tidak bisa digunakan dengan mudah oleh kementerian lain seperti Kementerian Sosial atau Kementerian Pekerjaan Umum, karena perbedaan format dan ketidakcocokan protokol data.

Masalah ini juga dihadapi di tingkat pemerintah daerah, di mana banyak pemerintah daerah yang belum memiliki infrastruktur teknologi yang memadai untuk mengintegrasikan data secara nasional. Studi dari Komite Inovasi Nasional menyebutkan bahwa lebih dari 60% pemerintah daerah di seluruh daerah masih menggunakan sistem informasi yang terisolasi dan tidak dapat terhubung dengan data pemerintah pusat secara real-time. Hal ini tentu menjadi faktor penghambat untuk mempercepat pengambilan keputusan berbasis data yang lebih akurat dan responsif, yang seharusnya menjadi salah satu manfaat utama dari implementasi SDI.

Ego Sektoral dan Kurangnya Koordinasi

Selain hambatan teknis terkait interoperabilitas sistem, ego sektoral dan kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah menjadi faktor penghambat utama lainnya dalam implementasi Kebijakan Satu Data Indonesia (SDI). Meski kebijakan SDI bertujuan untuk menciptakan integrasi data yang lebih baik antara instansi, pada kenyataannya banyak instansi yang masih memandang data yang mereka kelola sebagai "milik pribadi". Dalam banyak kasus, ketidakmauan untuk berbagi data ini tidak hanya disebabkan oleh masalah teknis, tetapi lebih kepada masalah mentalitas organisasi dan persaingan antar instansi.

Menurut laporan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), banyak instansi yang masih memegang prinsip bahwa data yang mereka kelola adalah bagian dari "otoritas" mereka, sehingga mereka merasa enggan untuk berbagi informasi atau memberikan akses kepada pihak luar. Akibat dari masalah ego sektoral dan kurangnya koordinasi ini, data yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pembangunan, evaluasi kebijakan, dan pembuatan keputusan berbasis data sering kali tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun