Target ambisius pemerintah untuk membangun 3 juta rumah dalam rangka mengurangi backlog perumahan yang mencapai 12,71 juta unit pada 2023, menurut data BPS, adalah upaya penting untuk mengatasi kesenjangan perumahan di Indonesia. Backlog ini mencerminkan ketidakcukupan pasokan rumah yang layak huni bagi sebagian besar masyarakat, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Â
Penyebaran Backlog Berdasarkan Wilayah
Penyebaran backlog perumahan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh ketidakseimbangan antara wilayah-wilayah yang lebih berkembang dan yang kurang berkembang. Data dari Kementerian ATR/BPN menunjukkan bahwa sekitar 65% dari total backlog perumahan terdapat di daerah-daerah yang kurang berkembang, terutama di wilayah pedesaan dan daerah terdepan yang jauh dari pusat-pusat ekonomi. Angka ini menggambarkan kesenjangan besar dalam akses perumahan yang layak antara kota besar dan daerah terpencil.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), meskipun ada perbaikan dari tahun ke tahun, backlog perumahan tetap menjadi masalah yang tidak mudah diatasi. Pada 2023, jumlah backlog perumahan masih mencapai sekitar 9,9 juta unit, yang sebagian besar terfokus di luar kota besar. Daerah-daerah yang memiliki keterbatasan infrastruktur dan akses terhadap pembiayaan perumahan, seperti kawasan timur Indonesia, lebih sulit mengatasi masalah backlog ini. Keterbatasan pembangunan perumahan di luar kota besar memperburuk ketimpangan sosial, karena masyarakat di wilayah tersebut kesulitan mendapatkan akses ke perumahan yang layak dan terjangkau, serta fasilitas publik yang memadai.
Program-program pemerintah yang ditujukan untuk mengatasi backlog perumahan di daerah-daerah ini belum sepenuhnya berhasil mengatasi ketimpangan yang ada. Misalnya, meskipun ada berbagai inisiatif untuk mendorong pembangunan rumah subsidi, seperti FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), distribusi rumah subsidi ini masih lebih terkonsentrasi di kawasan perkotaan, sementara di daerah pedesaan, perumahan yang layak dan terjangkau sangat terbatas.
Sebagai contoh, daerah yang terletak di luar Pulau Jawa, seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua, memiliki tingkat backlog yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan investasi infrastruktur dan rendahnya daya tarik ekonomi di daerah tersebut. Untuk itu, penting bagi kebijakan pembangunan perumahan di Indonesia untuk memperhatikan distribusi yang lebih merata, dengan memprioritaskan pembangunan rumah di daerah-daerah yang memiliki kebutuhan lebih tinggi, namun tetap memperhatikan keberlanjutan lingkungan.
Mengatasi ketimpangan ini memerlukan upaya sinergis antara pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta. Selain itu, penerapan kebijakan yang menstimulasi pembangunan perumahan yang ramah lingkungan di daerah-daerah terpencil dapat menjadi langkah penting dalam mengurangi backlog perumahan secara efektif.
Jumlah MBR dan Kebutuhan Rumah
Pembangunan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) menjadi tantangan utama dalam upaya mengatasi ketimpangan akses perumahan di Indonesia. Berdasarkan laporan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sekitar 80% dari total backlog perumahan membutuhkan perhatian khusus pada MBR. MBR, yang didefinisikan sebagai individu atau keluarga dengan pendapatan di bawah Rp 4 juta per bulan, merupakan kelompok yang paling terdampak dalam hal ketidakmampuan untuk memiliki rumah layak.
Menurut data BPS 2023, dari total 67,3 juta rumah tangga di Indonesia, sekitar 60% atau lebih dari 40 juta rumah tangga masuk dalam kategori MBR. Dengan jumlah yang begitu besar, pembangunan perumahan di Indonesia tidak bisa hanya berfokus pada kuantitas saja, tetapi juga pada keterjangkauan, kualitas, dan lokasi rumah yang sesuai dengan kemampuan serta kebutuhan masyarakat ini. Di tengah meningkatnya harga tanah dan material bangunan, serta keterbatasan dana untuk subsidi, tantangan terbesar adalah menyediakan rumah yang terjangkau, baik dari segi harga jual maupun biaya pemeliharaan, yang dapat dijangkau oleh kelompok MBR.
Keterjangkauan harga rumah menjadi isu utama. Meskipun ada berbagai skema pembiayaan seperti FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang menawarkan suku bunga rendah, hanya sebagian kecil MBR yang dapat memanfaatkan fasilitas ini. Tingginya persyaratan dan kurangnya literasi keuangan seringkali menjadi penghalang, sehingga banyak dari mereka yang kesulitan mengakses fasilitas pembiayaan tersebut. Selain itu, adanya kenaikan harga rumah yang hampir 10-15% dalam lima tahun terakhir juga mempersulit MBR untuk membeli rumah meskipun dengan adanya subsidi.
Tidak hanya itu, faktor lokasi juga mempengaruhi akses perumahan bagi MBR. Banyak perumahan murah yang dibangun di luar pusat-pusat ekonomi atau di daerah-daerah yang jauh dari fasilitas umum. Hal ini menambah beban MBR yang tidak hanya harus mengatasi keterbatasan keuangan, tetapi juga harus menghadapi kesulitan dalam menjangkau fasilitas pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Pembangunan perumahan yang berlokasi jauh dari pusat ekonomi ini menciptakan tantangan tersendiri, yakni mobilitas sosial yang terbatas dan meningkatkan biaya hidup sehari-hari, seperti transportasi yang mahal.
Selain itu, kualitas rumah yang dibangun untuk MBR sering kali menjadi isu. Kualitas material yang digunakan sering kali lebih rendah untuk menekan biaya pembangunan. Hal ini dapat berdampak buruk pada ketahanan bangunan dan kenyamanan penghuni dalam jangka panjang, memperburuk ketidaksetaraan sosial karena MBR akan terus bergantung pada rumah yang tidak ideal untuk keluarga mereka.
Untuk menjawab tantangan ini, penting bagi pemerintah dan sektor swasta untuk bekerja sama dalam menyediakan rumah yang tidak hanya terjangkau secara finansial, tetapi juga berkualitas dan terjangkau dalam hal lokasi. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan perumahan juga menjadi hal yang sangat penting, karena mereka yang lebih memahami kondisi dan kebutuhan lokal. Dengan pendekatan yang lebih komprehensif, perumahan untuk MBR bisa menjadi langkah penting dalam menciptakan kesejahteraan sosial yang lebih merata di seluruh Indonesia.
Masalah Keterjangkauan Harga Rumah
Tantangan lain dalam mencapai target pemerintah untuk membangun 3 juta rumah adalah kenaikan harga rumah yang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Bank Indonesia (2023), harga rumah di Indonesia meningkat signifikan, dengan kenaikan sekitar 10-15% dalam lima tahun terakhir. Kenaikan ini terutama terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Hal ini memengaruhi daya beli masyarakat, khususnya kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), yang kesulitan untuk membeli rumah meskipun terdapat berbagai program subsidi.
Kenaikan harga rumah yang tajam ini disebabkan, diantaranya, adanya inflasi harga bahan bangunan dan tanah yang terus meningkat, yang menjadi beban utama dalam pembangunan rumah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa biaya bahan bangunan pada 2023 mengalami kenaikan yang cukup signifikan, seperti harga semen dan besi yang naik lebih dari 10%. Selain itu, urbanisasi yang terus berlangsung juga meningkatkan permintaan akan rumah di kota-kota besar, sementara pasokan tanah semakin terbatas, terutama di pusat-pusat kota yang berkembang pesat. Akibatnya, harga tanah terus melonjak, yang secara langsung meningkatkan harga jual rumah.
Di tengah kenaikan harga yang pesat, meskipun pemerintah telah menawarkan berbagai program pembiayaan subsidi seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), manfaat dari program ini belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkan. Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), FLPP mampu menjangkau sekitar 50.000 unit rumah per tahun. Namun, hanya sekitar 12% dari MBR yang benar-benar dapat memanfaatkan fasilitas ini. Banyak MBR yang tidak dapat mengakses FLPP karena persyaratan yang ketat, termasuk syarat administratif yang rumit dan rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat. Hal ini menciptakan kesenjangan antara ketersediaan rumah subsidi dan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkannya.
Lebih lanjut, masalah literasi keuangan yang rendah juga menjadi penghalang besar dalam menjangkau rumah yang terjangkau. Data dari OJK menunjukkan bahwa hanya sedikit MBR yang memiliki pengetahuan cukup tentang cara memanfaatkan produk pembiayaan rumah yang ada, termasuk suku bunga yang ditawarkan, jangka waktu pinjaman, dan cara-cara mengelola utang rumah. Ini menyebabkan banyak orang merasa terhambat dalam mengakses pembiayaan yang seharusnya dapat membantu mereka untuk membeli rumah.
Keterbatasan akses terhadap pembiayaan rumah ini juga diperburuk oleh rendahnya pendapatan mayoritas MBR, yang tidak dapat mencukupi kebutuhan untuk membayar cicilan rumah yang bahkan sudah disubsidi. Sebagai contoh, meskipun program FLPP menawarkan suku bunga rendah, jumlah cicilan bulanan tetap menjadi beban berat bagi keluarga dengan pendapatan di bawah Rp 4 juta per bulan. Data BPS menunjukkan bahwa sekitar 60% dari total rumah tangga di Indonesia termasuk dalam kategori ini, yang berarti bahwa sebagian besar rumah tangga berpenghasilan rendah tetap kesulitan untuk membeli rumah meskipun ada program subsidi.
Masalah lain yang muncul adalah ketidakmerataan distribusi rumah subsidi di berbagai daerah. Sebagian besar rumah subsidi terfokus di daerah-daerah tertentu, terutama di kota-kota besar yang memiliki permintaan tinggi, sementara daerah-daerah terpencil atau kurang berkembang justru masih sangat terbatas dalam akses terhadap perumahan yang terjangkau. Ini menciptakan ketimpangan dalam distribusi perumahan yang layak huni, di mana masyarakat di daerah terpencil sering kali harus menunggu lama untuk memperoleh rumah yang mereka butuhkan.
Secara keseluruhan, meskipun pemerintah telah berupaya untuk menyediakan rumah melalui berbagai program subsidi, kenaikan harga rumah, ketatnya persyaratan pembiayaan, rendahnya literasi keuangan, dan ketidakmerataan distribusi perumahan menjadi tantangan besar dalam mencapai target pembangunan 3 juta rumah. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif dan inklusif, termasuk reformasi dalam kebijakan perumahan yang memperhatikan daya beli masyarakat, kemudahan akses ke pembiayaan, serta distribusi perumahan yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H