Memecah suara bising kendaraan yang melintas di jalanan dusun itu. Sedangkan beberapa aparat desa dan ibu PKK terlihat berjaga menantikan kehadiran kami.
"Selamat datang kembali,adik,"sapa Plt. kepala Desa Wee Limbu, Pieter Alfian Yulius Rewa sembari menyodorkan tangannya kepada kami bertiga diikuti oleh mereka yang lainnya.
Sapaan yang menyejukkan tentunya membuat kami hari itu bak raja yang sedang dinanti. Rasa bahagia tergambar jelas di wajah kami, walaupun tanpa kata yang terucap.
Masing-masing kami mulai mengeksplore tempat itu, melihat seperti apa Uma Pande dan segala aktivitasnya.
Hanyalah Rumah Biasa
Uma Pande dari tampilannya tidaklah luar biasa. Sama seperti rumah orang sumba umumnya. Berdinding bambu, beratapkan alang-alang dengan 4 buah pilar sebagai penyangganya dan dilengkapi balai kecil sebagai tempat peristrahatan sejenak. Bedanya hanyalah perlengkapan yang ada di dalamnya.Â
Jika rumah panggung biasanya diisi dengan tempat tidur dan perlengkapan rumah tangga maka di Uma Pande hanya berisi lemari dengan beragam buku anak-anak dan sejumlah karya anak seperti puisi, tas dari barang bekas dan bunga yang dipajang memenuhi dinding bambu.Â
Bukan itu saja, ada pula gambar-gambar hewan yang dibiarkan menggantung begitu saja membuat rumah panggung itu seperti tempat bermain bagi anak-anak.
Raut muka ceria pun tampak sekali terlihat pada anak-anak yang hadir. Beberapa diantaranya terlihat tertawa lepas seolah lupa dengan situasi rumit yang mereka alami selepas orang tuanya pergi. Semua larut dalam nyanyian dan yel-yel yang diberikan tutor mereka.
"Jika dihitung semuanya ada 30 orang yang setiap jumadnya hadir disini. Dan dari jumlah itu sebagiannya adalah anak-anak yang ditinggal pergi orang tuannya,"ujar pendiri Uma Pande, Yohanes Lelu Bili.
Keprihatinannya terhadap kondisi psikis anak-anak korban migran membuatnya merasa sangat terpukul dan memutuskan mendirikan Uma Pande sejak tahun 2018 lalu.Â