(Sebuah refleksi atas realitas politik Kaum Muda dalam Pileg 2019)
Setelah pesta demokrasi pemilihan kepala daerah, masyarakat akan kembali disajikan dengan pemilihan anggota legislatif di tingkat kabupaten, provinsi, maupun pusat. Menarik dan akan menjadi sentral pembicaraan publik nantinya.Â
Selain karena pertarungan partai meraup suara, pemilihan legislatif yang dilaksanakan serentak ini akan menampilkan sisi lain dengan kehadiran ratusan bahkan ribuan orang muda dalam pusaran pileg kali ini.Â
Banyaknya orang muda yang terlibat dalam kontestasi pileg kali tentu memberikan harapan baru bagi daerah bahkan negara ini, bahwa kaum muda seyogia bukanlah kaum apatis terhadap politik praktis. Bukan pula menjadi objek politik itu sendiri tetapi sudah mau menjadi subyek dari politik itu sendiri.
Kaum muda (walaupun baru sebagian) perlahan sudah menyadari diri mereka penting, dan layak menjadi alat perjuangan dalam proses membangun daerah dan negara ini. Kaum muda sebagai penerus bangsa kini bukan lagi slogan semata, tetapi menjadi sebuah pelecut semangat kediriaan mereka untuk hadir membawa perubahan yang lebih baik.Â
Sejarah mencatat, peran kaum muda sejak era orde lama hingga reformasi begitu sentral. Betapa tidak, Peristiwa Rengasdengklok adalah cikal bakal terbentuknya Negara Republik Indonesia yang hingga kini berdiri kokoh. Begitupun dengan tumbangnya Rezim Orba dengan kaum muda sebagai pelopornya hingga membuka zaman baru, zaman reformasi masa itu.Â
Sudah begitu masihkah kita meyangsikan kualitas anak-anak muda negeri ini? Hummm..
Sebuah pertanyaan yang mestinya dijawab tuntas sebelum tanya lain menghampiri akal kita dan membuat kita semakin tidak percaya dengan kemampuan kaum muda kita.
Tulisan ini adalah sebuah catatan untuk kita menakar sejauh mana kaum muda di pusaran politik kaum tua (baca: politisi lama) dalam merebut kursi sebagai wakil rakyat dalam pertarungan 2019 ini.
Kaum Muda Vs Politisi Rasa Lama
Ini adalah sebuah penegas sederhana bahwa hadirnya kaum muda dalam ketatnya kontestasi Pileg 2019 nanti bukan hanya sebagai pemanis semata tetapi akan mengganggu eksistensi kaum tua sendiri.
Betapa tidak, dengan strum (dorongan) dan drag (keinginan) yang kuat, kaum muda ingin menjadi alternatif lain saat kepercayaan masyarakat terhadap wakilnya terdahulu mencapai titik terendah.Â