Hingar bingar perpolitikan jelang pilgub semakin kental terasa dengan hadirnya putra-putri terbaik NTT. Sebut saja, Esthon Foenay-Christian Rotok, Marianus Sae-Emi Nomleni, Beni K. Harman-Beny Litelnoni, dan Viktor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nae Soi yang belakangan telah menjadi sentral pembicaraan publik NTT khususnya. Jika sebelumnya ada calon yang maju dari jalur independen sebagai pembedanya maka kini semua calon seolah-olah ogah mengikuti jalur tersebut.Â
Selain karena aturan yang menghendaki paslon mengantongi 272 ribu KTP yang menyebar merata di 12 kabupaten/kota dari 22  kabupaten/kota atau setara 8.5 persen total dpt yang ada, persoalan wilayah NTT yang merupakan daerah kepulauan semakin meruyamkan persoalan calon untuk mengumpulkan minimal angka KTP yang diminta oleh KPU untuk  maju dalam perhelatan pilgub kali ini.Â
Sehingga pilihan menggunakan kendaraan partai politik adalah sesuatu yang dianggap lumrah dan memungkinkan bagi paslon untuk bersaing menuju NTT 1 dan NTT 2. Dengan kondisi yang demikian, pilgub kali ini bukan hanya sekedar pertarungan antara para putra-putri terbaik NTT saja, tetapi lebih dari itu akan menjadi pertarungan antar partai politik dengan sermua kepentingan yang melingkupinya.
Perlu disadari bahwa pilgub kali ini, tidak hanya sekedar maju ataupun sekedar ikut-ikutan karena memiliki kuda tunggangan (baca: partai politik) semata tetapi bagaimana mengemas isu menarik sebagai sebuah kekuatan  melalui deretan program yang "wah" dari para calon pemimpin untuk kemudian menarik minat masyarakat untuk kemudian memilih mereka duduk singsana yang sebentar lagi akan ditinggalkan oleh pendahulunya.Â
Kemiskinan yang akut, pendidikan sembarawut, kesehatan yang jauh dari perhatian, minimnya air bersih, listrik dan infrastruktur jalan adalah deretan program para calon yang masih jadi prioritas dalam setiap perjumpaan mereka dengan masyarakat di setiap kampanye di berbagai daerah di NTT walaupun dengan warna lain sebagai bumbunya.Â
Namun demikian, penulis tidak akan mengupas persoalan materi kampanye yang demikian karena penulis masih menganggap sebagai sebuah kewajaran karena public NTT pun tidak sedang buta ataupun tuli melihat realitas yang terjadi di bumi flobamora ini. Tapi satu yang menjadi catatan penulis yang kemudian menggunggah penulis membuat tulisan ini yakni menguatnya politik identitas jelang pencoblosan pada tanggal 27 Juni mendatang sebagai sebuah realitas baru (mungkin juga lama) yang kini tengah kembali menguat, malah menyerempet masuk dalam ranah kampanye walaupun tidak kemudian sevulgar pada umumnya dengan melihat fenomena ini dari sudut pandang komunikasi politik.
Politik Indentitas: Wajah Baru Perpolitikan Kita
 Menurut Ahmad Syaffi Maarif dalam bukunya Politik identitas dan masa depan pluraslisme kita (2012), politik identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan 'kekitaan' yang menjadi basis utama perekat kolektivitas kelompok. Atau dengan kata lain politik identitas muncul karena ada rasa kesamaan baik secara ras, etnis, agama maupun elemen lainnya yang merekat yang kesemuanya bertujuan untuk mendapat dukungan dari masyarakat.Â
Dengan perasaan yang demikian, penulis kemudian dapat menyimpulkan bahwa politik identitas tidak akan lepas terpisah dari sikap primodialime yang sudah terlebih dahulu ada semenjak manusia itu lahir. Iya sikap primodialisme yang dimaksud di sini adalah perasaan kesukuan yang terlampau berlebihan yang nantinya bisa membawa dampak buruk jika tidak kemudian dimanage secara baik, karena akan memunculnya sikap etnosentrisme infeksibel/atau melihat segala sesuatu dari kacamata budaya sendiri.Â
Tidak perlu jauh-jauh pilgub Jakarta adalah bukti sahihnya dengan menempatkan seorang ahok yang notabene berasal dari suku Cina, dan beragama minoritas menjadi pesakitan akibat berada di wilayah mayoritas. Perbedaan agama dengan segala yang dimilikinya seolah menjadi aib bagi Jakarta itu sendiri. Apalagi Jakarta adalah ibukota Negara yang bermayoritas muslim.Â
Perasaan kekitaan yang kental itu kini perlahan tapi pasti sudah mulai merambah juga ke daerah NTT sebagai salah satu daerah yang paling pluralis dan sangat menghargai toleransi hingga diganjar penghargaan dari pemerintah pusat. Namun sepertinya penghargaan itu, hanyalah kepingan yang nampak dari sekian yang tidak nampak karena selebihnya isu agama dan kesukuan masih mengintari ketoleransian kita sebagai warga masyarakat NTT terlebih menjelang pencoblosan nanti. Munculnya ajakan untuk tidak boleh memilih ini karena agamanya ataupun tidak boleh memilih itu karena dia berasal dari suku itu adalah sebuah fakta yang tidak boleh dianggap remeh walaupun hanya berkutat di arus bawah.Â
Apalagi hal ini pun dijadikan materi khusus oleh komunitas peace maker kupang dalam talkshow beberapa waktu lalu (VN: Jumad, 2 Maret) dengan tema Jaga NTT Tetap Damai Tanpa Sara, yang sudah barang tentu melihat politik identitas ini sebagai sebuah masalah pelik bagi keharmonisan di NTT. Sebuah kenyataan yang tidak bias disangkal dan tidak bisa dihindari karena pengalaman telah membuktikan bahwa politik identitas bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin terjadi di dunia perpolitikan.Â
Apalagi dalam prosesnya politik identitas itu kini sudah menjadi alat kampanye bukan lagi sebagai alat propaganda yang sesuai dengan cirinya sebagaimana yang dikemukan Pfau dan Parrot dalam Liliweri (2011:678) yakni bersumber jelas, terikat dan dibatasi waktu,terbuka dan diberdebatkan public, tegas, specific dan variatif, persuasi dan diatur kode etik dengan tetap mempertimbangkan kepentingan kedua belah pihak tanpa merugikan salah satunya.
 kampanye yang semula hanya bertujuan untuk mengubah perilaku dan mengubah kebijakan public yang menekankan pada mobilisasi tindakan dalam rangka mengubah kebijakan umumnya kini sudah  perlahan-lahan tergantikan dengan propaganda yang lebih menuntut orang menerima segala sesuatu atau pesan politik sebagai sebuah kenyataan dan menyebarkannya sebagai sebuah ide ataupun doktrin kepada lainnya walaupun sumbernya tersebut hanya samar-samar ataupun tidak diketahui hanya untuk menyakiti sasaran politik ataupun lawannya demi kekuasaan.Â
Dan inilah yang sedang terjadi di NTT, kemasan pesan bertamengkan agama, kesukuan sudah menyeruak muncul ke permukaan dalam setiap kampanye yang digelar walaupun bahasanya tidak secara eksplisit ada, Â mencoba mempengaruhi masyarakat untuk memilih pemimpin karena suku dan agamanya, padahal esensi memilih pemimpin seyogianya memilih orang yang mampu menyelesaikan setiap persoalan yang ada di wilayah ini bukan untuk memilih pemimpin agama maupun suku tertentu.
Peran Parpol Dibutuhkan Menepis Politik Identitas
Sebagai pelaku politik, partai politik hemat penulis punya peranan yang sangat signifikan ketimbang para calon yang nantinya menjadi pemimpin di NTT. Pasalnya, partai politiklah yang menjadi corong dan menjadi garda terdepan dalam mendukung para calonnya dengan semua kepentingan yang melingkupinya termasuk menunjukkan eksistensi dan kebesaran partai kepada pesaingnya lewat kemenangan nantinya.Â
Sehingga masuk di akal jika kemudian politik identitas pun diangkat sebagai sebuah realitas (pesan) politik dengan harapan bisa diterima oleh masyarakat NTT sebagai sebuah keharusan yang tidak bisa disangkal karena menyentuh hal paling hakiki soal keberadaan manusia sebagai manusia berbudaya. Parpol tentu sadar betul posisinya dan tidak sedang berjudi, ataupun hanya sekedar numpang lewat namun lebih dari itu sudah menyiapkan amunisi paling mematikan untuk memenangkan calon yang diusungnya walaupun harus dengan cara tidak elegan. Sekali lagi, ini soal kepentingan bukan lainnya.Â
Namun parpol sedang lupa kalau ini NTT yang pluralis dan dikenal sebagai sebuah daerah yang punya toleransi tinggi yang tentu membuat mereka harus siap menerima sangsi secara social jika kemudian politik identitas ini terus mengemuka dan dimainkan dalam setiap kampanye walaupun kadarnya tidak 100 persen. Parpol harus mampu menepis pesan politik identitas yang demikian dalam kampanye calonnya untuk menjaga NTT sebagai role model keberagamaan di Indonesia sekaligus mematahkan persoalan Jakarta masuk ke ranah NTT.Â
Partai politik harus bisa memberikan pendidikan politik yang benar dengan memberikan pesan yang membangun untuk NTT dan bukan sebagai perusak tatanan kehidupan social masyarakat yang sudah terbangun baik selama ini. Parpol pun seyogianya harus sudah mulai menunjukkan sikap kenegarawaannya dengan keluar ada segala perbedaan yang ada dan berani untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat di arus bawah yang kini telah terkotak-kotak akibat politik identitas yang sudah terlanjur berjalan massif. Itulah tanggung jawab parpol yang membuatnya menjadi parpol yang disegani dan digandrungi masyarakat. Â Â
Dan tulisan ini tidak sedang menjudge ataupun sedang memborbadir parpol di NTT, tetapi hanya mau memberikan sedikit gambaran bahwa parpol sedianya punya tanggung jawab lebih untuk menghindarkan propaganda politik identitas bermain di tataran politik dengan asumsi sederhana bahwa semenjak awal pendaftaran hingga pencoblosan nanti, parpol tetap menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas kemenangan maupun kekalahan calonnya, apalagi sebagaimana diuraikan di awal tulisan ini, tidak ada satu pun calon yang maju dari jalur independen yang memungkinkan apa yang disampaikan ini benar adanya.
Dan ini lah wajah baru politik kita dan akan menjadi trend di masa-masa mendatang entah sampai kapan yang pasti warnanya akan sama dengan pilgub Jakarta di masa lalu bedanya media baik cetak, online dan elektronik di NTT kini sedang enggan menulis intens soal ini untuk dikonsumsi public luas atau pun sekedar membesarkan sesuatu yang nantinya akan dijadikan momok tersendiri bagi daerahnya walaupun secara umum mereka tahu bahwa geliat politik identitas kini sedang berupaya merongrong wilayah ini khususnya menjelang pencoblosan pada tanggal 27 Juni mendatang. Karen media masih punya taji untuk mempengaruhi opini public.Â
Tentu harapan kita bersama, pilgub kali ini bisa menghasilkan  pemimpin yang berkualitas dan mampu berbuat lebih dari sekedar berbuat yang biasa-biasa saja dalam membangun daerah ini tanpa harus menekankan pada sisi perbedaan yang dimiliki karena bagaimana pun juga kita semua adalah satu kesatuan yang dinamakan NTT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H