Apalagi hal ini pun dijadikan materi khusus oleh komunitas peace maker kupang dalam talkshow beberapa waktu lalu (VN: Jumad, 2 Maret) dengan tema Jaga NTT Tetap Damai Tanpa Sara, yang sudah barang tentu melihat politik identitas ini sebagai sebuah masalah pelik bagi keharmonisan di NTT. Sebuah kenyataan yang tidak bias disangkal dan tidak bisa dihindari karena pengalaman telah membuktikan bahwa politik identitas bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin terjadi di dunia perpolitikan.Â
Apalagi dalam prosesnya politik identitas itu kini sudah menjadi alat kampanye bukan lagi sebagai alat propaganda yang sesuai dengan cirinya sebagaimana yang dikemukan Pfau dan Parrot dalam Liliweri (2011:678) yakni bersumber jelas, terikat dan dibatasi waktu,terbuka dan diberdebatkan public, tegas, specific dan variatif, persuasi dan diatur kode etik dengan tetap mempertimbangkan kepentingan kedua belah pihak tanpa merugikan salah satunya.
 kampanye yang semula hanya bertujuan untuk mengubah perilaku dan mengubah kebijakan public yang menekankan pada mobilisasi tindakan dalam rangka mengubah kebijakan umumnya kini sudah  perlahan-lahan tergantikan dengan propaganda yang lebih menuntut orang menerima segala sesuatu atau pesan politik sebagai sebuah kenyataan dan menyebarkannya sebagai sebuah ide ataupun doktrin kepada lainnya walaupun sumbernya tersebut hanya samar-samar ataupun tidak diketahui hanya untuk menyakiti sasaran politik ataupun lawannya demi kekuasaan.Â
Dan inilah yang sedang terjadi di NTT, kemasan pesan bertamengkan agama, kesukuan sudah menyeruak muncul ke permukaan dalam setiap kampanye yang digelar walaupun bahasanya tidak secara eksplisit ada, Â mencoba mempengaruhi masyarakat untuk memilih pemimpin karena suku dan agamanya, padahal esensi memilih pemimpin seyogianya memilih orang yang mampu menyelesaikan setiap persoalan yang ada di wilayah ini bukan untuk memilih pemimpin agama maupun suku tertentu.
Peran Parpol Dibutuhkan Menepis Politik Identitas
Sebagai pelaku politik, partai politik hemat penulis punya peranan yang sangat signifikan ketimbang para calon yang nantinya menjadi pemimpin di NTT. Pasalnya, partai politiklah yang menjadi corong dan menjadi garda terdepan dalam mendukung para calonnya dengan semua kepentingan yang melingkupinya termasuk menunjukkan eksistensi dan kebesaran partai kepada pesaingnya lewat kemenangan nantinya.Â
Sehingga masuk di akal jika kemudian politik identitas pun diangkat sebagai sebuah realitas (pesan) politik dengan harapan bisa diterima oleh masyarakat NTT sebagai sebuah keharusan yang tidak bisa disangkal karena menyentuh hal paling hakiki soal keberadaan manusia sebagai manusia berbudaya. Parpol tentu sadar betul posisinya dan tidak sedang berjudi, ataupun hanya sekedar numpang lewat namun lebih dari itu sudah menyiapkan amunisi paling mematikan untuk memenangkan calon yang diusungnya walaupun harus dengan cara tidak elegan. Sekali lagi, ini soal kepentingan bukan lainnya.Â
Namun parpol sedang lupa kalau ini NTT yang pluralis dan dikenal sebagai sebuah daerah yang punya toleransi tinggi yang tentu membuat mereka harus siap menerima sangsi secara social jika kemudian politik identitas ini terus mengemuka dan dimainkan dalam setiap kampanye walaupun kadarnya tidak 100 persen. Parpol harus mampu menepis pesan politik identitas yang demikian dalam kampanye calonnya untuk menjaga NTT sebagai role model keberagamaan di Indonesia sekaligus mematahkan persoalan Jakarta masuk ke ranah NTT.Â
Partai politik harus bisa memberikan pendidikan politik yang benar dengan memberikan pesan yang membangun untuk NTT dan bukan sebagai perusak tatanan kehidupan social masyarakat yang sudah terbangun baik selama ini. Parpol pun seyogianya harus sudah mulai menunjukkan sikap kenegarawaannya dengan keluar ada segala perbedaan yang ada dan berani untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat di arus bawah yang kini telah terkotak-kotak akibat politik identitas yang sudah terlanjur berjalan massif. Itulah tanggung jawab parpol yang membuatnya menjadi parpol yang disegani dan digandrungi masyarakat. Â Â
Dan tulisan ini tidak sedang menjudge ataupun sedang memborbadir parpol di NTT, tetapi hanya mau memberikan sedikit gambaran bahwa parpol sedianya punya tanggung jawab lebih untuk menghindarkan propaganda politik identitas bermain di tataran politik dengan asumsi sederhana bahwa semenjak awal pendaftaran hingga pencoblosan nanti, parpol tetap menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas kemenangan maupun kekalahan calonnya, apalagi sebagaimana diuraikan di awal tulisan ini, tidak ada satu pun calon yang maju dari jalur independen yang memungkinkan apa yang disampaikan ini benar adanya.
Dan ini lah wajah baru politik kita dan akan menjadi trend di masa-masa mendatang entah sampai kapan yang pasti warnanya akan sama dengan pilgub Jakarta di masa lalu bedanya media baik cetak, online dan elektronik di NTT kini sedang enggan menulis intens soal ini untuk dikonsumsi public luas atau pun sekedar membesarkan sesuatu yang nantinya akan dijadikan momok tersendiri bagi daerahnya walaupun secara umum mereka tahu bahwa geliat politik identitas kini sedang berupaya merongrong wilayah ini khususnya menjelang pencoblosan pada tanggal 27 Juni mendatang. Karen media masih punya taji untuk mempengaruhi opini public.Â