Mohon tunggu...
Krishna Danish Ara
Krishna Danish Ara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka mendengarkan musik dan main gitar, terkadang foto-foto dan bikin video.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Kebangkitan Piringan Hitam untuk Mendengarkan Musik di Era Digital

3 September 2023   12:20 Diperbarui: 3 September 2023   20:14 1226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era digital ini, musik merupakan salah-satu bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat terpisahkan. Ada banyak cara untuk menikmati musik, yang paling populer adalah dengan streaming musik melalui smartphone. 

Cara tersebut terbilang sangatlah sederhana, anda hanya perlu membuka layanan streaming musik di smartphone, lalu anda tinggal memilih musik yang ingin diputar. 

Namun belakangan ini terjadi kebangkitan media pemutar musik dari era lama, yaitu vinyl atau piringan hitam. Padahal, piringan hitam merupakan media penyimpanan yang dapat dibilang usang karena sudah ada sejak awal penciptaan media untuk merekam, dan memutar suara. Lantas apa yang membuatnya bangkit kembali?

Perkembangan Media Penyimpanan Audio

Melihat ke masa lalu, media penyimpanan audio pertama kali diciptakan oleh Thomas Alva Edison pada tahun 1877, media penyimpanan tersebut berbentuk silinder yang terbuat dari bahan lilin (wax) atau silinder berlapis tinfoil. 

Media penyimpanan ini masih bersifat analog, artinya rekaman yang disimpan merupakan gelombang suara asli yang ditangkap oleh alat rekam dan dapat dilihat secara fisik. Alat yang digunakan untuk merekam suara ke silinder tersebut dinamai Phonograph. 

Phonograph merupakan sebuah alat berbentuk corong (seperti terompet) yang berfungsi untuk menangkap gelombang suara dan menggetarkan sebuah diafragma yang terhubung dengan sebuah stylus (jarum). Jarum tersebut akan bergerak sesuai dengan gelombang yang ditangkap dan memberikan indentasi atau alur di silinder. 

Selain digunakan untuk merekam, phonograph juga dapat memutar suara yang sudah direkam di silinder. Jarum akan mengikuti alur yang telah terukir di silinder dan menggetarkan diafragma sehingga muncul suara yang kemudian dikeraskan oleh corong. 

Sistem penyimpanan audio di silinder memiliki beberapa kekurangan, beberapa diantaranya adalah: silinder tidak dapat menyimpan banyak rekaman audio karena alur yang dapat diukir ke silinder berukuran besar. Kemudian material wax yang lunak membuat silinder rentan dengan perubahan temperatur dan juga rentan tergores.

economictimes.indiatimes.com
economictimes.indiatimes.com

Kemudian pada tahun 1930an, The Union Carbon and Carbide Company menciptakan sebuah teknologi penyimpanan audio baru dengan menggunakan bahan PVC (Polyvinyl Chloride). 

Bahan PVC tersebut memiliki kualitas yang lebih baik daripada wax atau tinfoil, karena permukaannya yang lebih kuat dan tahan terhadap temperatur sehingga membuatnya tidak mudah tergores  dan rusak karena perubahan temperatur. 

Prinsip kerjanya masih sama dengan teknologi sebelumnya, hanya saja bentuk media yang sebelumnya berupa sebuah silinder kini menjadi sebuah piringan. Alur yang menyimpan rekaman audio dibuat menggunakan alat press sehingga menjadi bentuk piringan. Piringan hitam dapat menyimpan lebih banyak rekaman suara karena alur dari rekaman bisa dibuat lebih kecil dan jarak antara alurnya lebih rapat. 

Hasil rekaman suara yang sudah di press menjadi sebuah piringan dapat diputar kembali menggunakan stylus atau jarum. Jarum membaca gerakan dari alur yang ada di piringan hitam, kemudian mengubahnya menjadi getaran suara atau menjadi sebuah gelombang listrik yang dapat diteruskan ke speaker untuk diubah menjadi gelombang suara.

londonsoundacademy.com
londonsoundacademy.com

Di Indonesia sendiri, piringan hitam mulai digunakan pada tahun 1950-an. Saat itu produsen piringan hitam yang terkenal adalah Lokananta Surakarta dan Irama Menteng. Piringan hitam pertama di yang dirilis oleh Irama Records adalah album Sarinande (1956) karya The Progressif. 

Pada tahun yang sama, didirikan studio rekaman dan produsen piringan hitam Lokananta Surakarta oleh Raden Maladi, bersama Oetojo Soemowidjojo, dan Raden Ngabehi Soegoto Soerojodipoero atas keinginan Presiden Soekarno yang ingin menyatukan bangsa Indonesia melalui musik. 

Lokananta pun menjadi studio rekaman terbesar di Indonesia, pada awal pendiriannya Lokananta bertugas untuk merekam materi siaran dalam bentuk piringan hitam untuk disiarkan oleh 26 stasiun RRI di seluruh Indonesia. 

Kemudian pada tahun 1959, Lokananta memperoleh izin untuk menjual piringan hitam ke masyarakat dan mulai melakukan rekaman piringan hitam untuk musisi. 

Beberapa nama terkenal yang pernah melakukan rekaman di Lokananta adalah Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, Sam Saimun, dan maestro jazz Buby Chen.

Seiring berkembangnya teknologi penyimpanan audio, teknologi piringan hitam mulai ditinggalkan karena banyak faktor, diantaranya adalah harganya yang tidak terjangkau, kemudian penggunaannya membutuhkan alat yang besar dan tidak dapat dibawa kemana-mana. 

Piringan hitam tergantikan oleh teknologi casette tape atau kaset pita pada tahun 1962 ketika teknologi kaset pita pertama kali diperkenalkan oleh Phillips. Kaset pita menawarkan durasi rekaman yang lebih lama dan kemudahan dalam memutar dan membawanya kemanapun.

Kaset pita dengan cepat menguasai pasar karena memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh piringan hitam. Namun penciptaan kaset pita tidak bertujuan untuk menggantikan piringan hitam, melainkan sebagai komplemen atas piringan hitam. 

Orang yang menginginkan kemudahan dalam membawa rekaman akan menggunakan kaset pita dan orang yang menginginkan kualitas audio yang sudah terbukti kualitasnya akan menggunakan piringan hitam. Kemudian pada tahun 1985 penjualan kaset pita sudah menyalip penjualan piringan hitam.

Lalu di tahun 1982, Phillips bekerja sama dengan Sony menciptakan teknologi yang dimaksudkan untuk menggantikan piringan hitam secara sepenuhnya, yaitu Compact Disc (CD). 

CD merupakan format digital yang bekerja dengan mengubah sinyal analog dari alat penangkap suara seperti mikrofon menggunakan analog-to-digtal converter (ADC) dan merepresentasikan frekuensi suara dan amplitudonya menggunakan angka 1 dan 0 atau biasa disebut kode biner. Untuk mendengarkan audio digital, kode biner yang sudah direkam akan diubah kembali menjadi sinyal analog menggunakan digital-to-analog converter (DAC) untuk kemudian dikirimkan ke perangkat speaker untuk diubah menjadi gelombang suara.

CD menawarkan durasi yang lebih panjang dan bentuk yang lebih ringkas daripada piringan hitam dan kaset pita. Teknologi CD ini berkembang dengan sangat cepat dan menjadi sangat besar, hal ini dapat dilihat dari grafik penjualan piringan hitam, kaset pita, dan CD:

thehustle.co
thehustle.co

Dapat dilihat bahwa penjualan CD pada puncak tertingginya mengalahkan piringan hitam dan kaset pita. Teknologi CD yang jauh lebih mudah untuk digunakan dan proses manufaktur yang lebih mudah membuatnya digandrungi masyarakat dan produsen CD. Dengan itu teknologi terdahulu dengan cepat ditinggalkan begitu saja.

Namun, perkembangan teknologi penyimpanan audio tidak berhenti disitu saja. Produsen-produsen besar terus mencari cara untuk semakin memudahkan cara mendengarkan musik kepada masyarakat. 

Pada tahun 1999, dunia diperkenalkan pada teknologi terbaru bernama music streaming yang menggantikan penyimpanan audio secara fisik dengan streaming secara online. 

Kemunculan teknologi streaming juga dibarengi dengan naiknya penggunaan komputer, internet, dan perangkat telepon genggam, masyarakat yang telah memiliki perangkat-perangkat tersebut dapat langsung mencoba music streaming, dengan itu teknologi streaming dengan cepat dikenal dan dipakai oleh banyak masyarakat di dunia. 

Pada tahun 2006, salah satu layanan music streaming yang paling dikenal masa kini, yaitu Spotify diluncurkan. Dengan itu, teknologi-teknologi yang seblumnya digunakan semakin ditinggalkan.

Mengapa Piringan Hitam Bangkit Kembali di Era Digital Ini?

Meskipun teknologi penyimpanan audio masa kini sudah semakin canggih, terjadi kebangkitan teknologi penyimpanan lama yang tidak disangka oleh masyarakat, yaitu naiknya kembali penjualan dan penggunaan piringan hitam. Apa yang membuatnya diminati kembali di kalangan penikmat musik?

Kebangkitan ini diawali pada tahun 2020, dimana dunia dikejutkan dengan kemunculan wabah COVID-19. Masyarakat yang awalnya beraktivitas sebagai umumnya terpaksa harus tinggal diam di rumah masing-masing. Karena hal tersebut, masyarakat mulai mencari aktivitas yang dapat dilakukan saat sedang berada di rumah, salah satu aktivitas yang dapat dilakukan adalah mendengarkan musik menggunakan piringan hitam. 

Banyak yang beralasan bahwa dengan menggunakan piringan hitam, pengalaman mendengarkan musik menjadi lebih intim dan menyenangkan. Proses menyiapkan piringan hitam hingga memutar turntable memberikan relaksasi tersendiri kepada penggunanya. 

Selain itu, banyak orang yang beralasan bahwa piringan hitam memiliki kualitas audio yang lebih baik daripada format penyimpanan audio digital karena audio yang disimpan di piringan hitam murni hasil dari rekaman analog dari sebuah lagu.

Selain karena alasan di atas, piringan hitam juga erat dengan perasaan nostalgia atau kembali ke masa lalu. Banyak orang dari generasi boomer dan millenial yang ingin kembali merasakan pengalaman memutar musik menggunakan piringan hitam. 

Berdasarkan survey YouGov pada tahun 2019, 31% orang dewasa di Amerika Serikat bersedia untuk membeli piringan hitam di era serba digital ini. Yang cukup mengejutkan adalah, banyak juga generasi muda dari gen x dan gen z juga bersedia untuk membayar lebih untuk menggunakan piringan hitam ketimbang berlangganan music streaming.

thehustle.co
thehustle.co

Kenaikan penjualan dan penggunaan piringan hitam juga dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

thehustle.co
thehustle.co

Di Amerika Serikat, penjualan piringan hitam mengalami kenaikan pada tahun 2020. Bahkan untuk pertama kalinya sejak tahun 1986, penjualan piringan hitam melebihi penjualan CD yang sempat merajai pasaran. Tren kenaikan ini diprediksi akan terus terjadi hingga beberapa tahun kedepan.

Terjadinya kenaikan tren piringan hitam ini juga berdampak kepada musisi dan produsen piringan hitam itu sendiri. Semakin banyak orang yang memproduksi piringan hitam untuk memenuhi permintaan dari masyarakat.

Piringan hitam juga merupakan sumber penghasilan yang cukup besar untuk musisi. Satu keping vinyl membutuhkan modal sekitar 7 dolar AS dan band atau musisi dapat menjualnya lansgung kepada pendengarnya dengan kisaran harga 25 dolar AS. 

Tentu ini memberikan banyak keuntungan kepada musisi, karena jika hanya mengandalkan keuntungan dari layanan music streaming, bayaran yang diberikan per 1 kali stream lagu sangat sedikit. Sebagai perbandingan, seorang musisi perlu 450.000 stream lagu untuk menghasilkan keuntungan yang setara dengan penjualan 100 keping vinyl.

thehustle.co
thehustle.co

Meskipun penjualan piringan hitam terus meningkat, layanan music streaming masih tetap merajai industri musik. Karena piringan hitam tetaplah sebuah media penyimpanan audio yang membutuhkan usaha lebih untuk bisa dinikmati.

thehustle.co
thehustle.co

Perbedaan Kualitas Piringan Hitam dengan Teknologi Digital

Teknologi digital tentu saja dibuat untuk menjadi lebih baik dari teknologi yang sudah ada sebelumnya. Lantas, mengapa ada orang yang berpendapat bahwa piringan hitam merupakan media penyimpanan yang lebih baik daripada teknologi yang lebih baru?

Secara teknis, banyak parameter yang bisa menjadi perbandingan antara format analog (piringan hitam) dan digital. Pertama, piringan hitam memiliki dynamic range suara 70dB, sedangkan format digital mencapai 96dB. Ini menandakan bahwa format digital memiliki keunggulan dalam memberikan perbedaan tingkat kekerasan pada suara. Kedua, piringan hitam memiliki separasi antara channel kiri dan kanan hingga 30dB, sedangkan format digital dapat melebihi 90dB. 

Separasi antar channel ini memberikan soundstaging suara, lebih tinggi angkanya maka suara yang dihasilkan akan terdengar lebih ‘luas’. Kemudian, piringan hitam memiliki rumble noise pada frekuensi rendah yang disebabkan oleh sisten bearing yang ada dalam turntable yang digunakan untuk memutarnya. 

Rumble noise ini akan menimbulkan distorsi, noise ini dapat terdengar jelas khususnya pada sistem speaker yang memiliki low frequency response yang baik. Noise juga dapat ditimbulkan oleh gangguan yang terjadi pada piringan hitam itu sendiri. 

Gangguan yang dimaksud adalah debu atau partikel kecil yang masuk ke dalam alur piringan hitam, atau ketika fisik dari piringan hitam yang dipakai rusak seperti melengkung atau bergelombang. 

Pada format digital, hal-hal ini tentu tidak akan terjadi karena tidak ada bentuk fisiknya. Namun bukan berarti format digital tidak memiliki kekurangan. Karena untuk menghasilkan rekaman audio yang baik dalam format digital, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Bit rate, sample rate, hingga alat yang digunakan untuk merekam dan memutarnya kembali dapat mempengaruhi kualitas suara dari format digital.

Dari berbagai hal teknis yang disebutkan diatas, tentu saja anda akan berpikir bahwa format digital lebih baik daripada piringan hitam. Namun semua itu tergantung kepada konsumen atau penikmat musik itu sendiri. B

agi kebanyakan khalayak umum, perbedaan yang dimiliki piringan hitam dan audio digital hampir tidak terasa. Karena konsumen biasanya hanya menggunakan perangkat seperti AirPods atau headphone kelas consumer untuk mendengarkan musik, maka sebaik apapun kualitas audio dari media penyimpanan bila tidak didukung perangkat yang baik juga, media penyimpanan analog atau digital tidak akan bisa  memberikan kualitas terbaik untuk mendengarkan musik.

Kesimpulan

Piringan hitam masih menjadi pilihan masyarakat untuk memutar musik di era digital ini. Format penyimpanan audio ini kembali karena keinginan para penikmat musik untuk bernostalgia dan mengoleksi barang dari musisi yang digemari. 

Walaupun memiliki banyak kekurangan, pengalaman memutar piringan hitam di turntable dan perasaan nostalgia yang diberikan oleh piringan hitam tidak dapat tergantikan. Piringan hitam memiliki keunikannya tersendiri dan tidak akan lekang oleh zaman. Bangkitnya piringan hitam juga membantu para musisi untuk mendapatkan lebih banyak dari musik yang dibuat dan dicetak dalam piringan hitam.

***

Referensi

Future Proof. (2023, January 4). Why are Vinyl Records SO Popular... AGAIN? Www.youtube.com. https://www.youtube.com/watch?v=3_T_iamxyBA&list=LL&index=5&t=1s&pp=gAQBiAQB

Anderton, C. (2021, November 9). Digital Audio Basics #1: What You Need to Know. Waves.com; Waves Audio. https://www.waves.com/digital-audio-basics-1-what-you-need-to-know

Brewster, W. (2023, January 3). The history of music streaming. Mixdown Magazine. https://mixdownmag.com.au/features/the-history-of-music-streaming/

Butcher, M. (2018, July 4). How Does Vinyl Work? Londonsoundacademy.com; London Sound Academy. https://www.londonsoundacademy.com/blog/how-does-vinyl-work

Crockett, Z. (2021, December 4). The insane resurgence of vinyl records. The Hustle. https://thehustle.co/the-insane-resurgence-of-vinyl-records/

Edwards, L. (2023, February 24). How Do Vinyl Records Work? VinylBox. https://vinylbox.co/blogs/articles/how-do-vinyl-records-work#:~:text=Essentially%2C%20the%20grooves%20on%20the

Fernanda, D. (2014, August 7). Menelusuri Jejak Piringan Hitam di Indonesia. Hiburan. https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20141007133239-227-5564/menelusuri-jejak-piringan-hitam-di-indonesia

Gutierrez, K. (2023, August 3). How Phonographs Work. Brightstarmusical.com. https://brightstarmusical.com/how-phonographs-work/

John, S. (2020, October 20). Why Vinyl Records Are Making a Comeback in 2020. The Manual; The Manual. https://www.themanual.com/culture/why-vinyl-is-coming-back/

Kompas Cyber Media. (2023, July 15). Sejarah Lokananta, Studio Musik Tertua di Indonesia yang Hidup Kembali Halaman all (P. Setyaningrum, Ed.). KOMPAS.com. https://regional.kompas.com/read/2023/07/15/231804578/sejarah-lokananta-studio-musik-tertua-di-indonesia-yang-hidup-kembali?page=all

Mall, A. (2021). Vinyl Revival. Journal of Popular Music Studies, 33(3), 73–77. https://doi.org/10.1525/jpms.2021.33.3.73

Osborne, R. (2018). Vinyl, Vinyl everywhere: The analog record in the digital world  - Middlesex University Research Repository. The Routledge Companion to Media Technology and Obsolescence, 1(1). https://eprints.mdx.ac.uk/26044/6/VinylVinylEverywhere.pdf

Syarifudin, A. (2023, June 4). Sejarah Lokananta di Solo: Titik Nol Musik Indonesia, Dulu Produsen Piringan Hitam Terbesar Se-Asia (R. P. Santoso, Ed.). Tribunsolo.com. https://solo.tribunnews.com/2023/06/04/sejarah-lokananta-di-solo-titik-nol-musik-indonesia-dulu-produsen-piringan-hitam-terbesar-se-asia

Wykes, A. J. (2019, February 25). Is vinyl better than streaming? SoundGuys. https://www.soundguys.com/vinyl-better-than-streaming-20654/

Yassin, D. (2019, December 5). A brief history of streaming services. The Michigan Daily. https://www.michigandaily.com/music/brief-history-steaming-services/

Yugo, S. S. (2010). PERILAKU KONSUMEN MUSIK PADA RILISAN FISIK (CD,KASET & VINYL) DI KOTA MALANG. 12–30. http://repository.stie-mce.ac.id/729/8/8.%20Bab%20II%20Kajian%20Pustaka.pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun