Winter beranjak menyepi menyisakan tetesan embun untuk menyapa summer, Hamburg dengan pesonanya tersendiri ketika summer mulai berjaga untuk waktunya, desah camar tak lagi nyanyikan lagu balada tetapi justru bersuka cita dengan riuhnya dan tarian di sepanjang membentang luar dermaga.Â
Hari-hariku masih ku jalani dengan seperti biasa, tumpukan jadwal kuliah yang semakin menyiksa dan membutuhkan perhatian ekstra ketat, jika kau tidak ingin di depak dan pulang tanpa hasil maka bertanggung jawablah dengan keputusan dan kehidupanmu... hidup sebagai mahasiswa beasiswa memang luar biasa berbeda, tak ada apapun yang gratis di dunia ini semua selalu ada nilai timbal balik...uang saku dari kanselir tiap perbulan hanya cukup untuk biaya foto copy dan transportasi serta sewa flat  dan timbal baliknya semua standart nilai beasiswa aku harus mampu membuat senyum di atas kertas.
Bersyukur di saat winter Tuhan beri jalan keluar dengan pertemukan aku solusi yaitu bekerja paruh waktu part time di cafe ujung blok
Hamburg selalu menggodaku dengan pesonanya sendiri, Tanah air keduaku setelah Indonesia...meski tidak harus mengakar namun Hamburg memberikan aku kenikmatan akan pembelajaran arti perjuangan dan kemandirian hidup
Udara Hamburg yang memikat paru-paruku, sedikit ku jumpai kendaraan dengan emisi tak bertanggung jawab di sini karena hampir sebagian warganya lebih mencintai jalan kaki dan sepeda.
Bangsa besar yang mencintai kesederhanaan dan itu tidak menjadikan mereka terlihat rendah di mata bangsa lain...lalu akankah kita belajar dari kesederhanaan ini semua, akankah kita mampu merasa bangga dengan warna merah putih kita, warna hijau pasport kita, warna coklat kulit badan kita, mungil ukuran tubuh kita, dan bangga meski harus berjalan kaki atau naik sepeda atau mungkin kereta api ketika kita harus pergi dan berangkat kerja atau ke sekolah,kampus atau mungkin ke tempat di mana tujuan kita akan tuju...ini hanya sebuah keinginan dari sekian harapan untuk Indonesia...Pr yang entah kapan akan terealisasi
Keindahan Hamburg ternyata tidak mampu mengobati kerinduanku akan aroma randu di belakang rumah, semua masih selalu sama...apapun itu predikat negeriku,darah Indonesia mengalir di setiap centi ruas aliran darahku
hanya sebuah kata tak beraturanÂ
Kebodohan dan kenaifan
Rindu udara di mana buaian aku tinggalkan
Harum darah pertiwi masih kerap memikatku
Dimana cinta jika waktu terbelunggu hanya untuk sebuah lembar kertas pengakuan
Berkali-kali aku kehilangan notes kertas atau tisuku, entah kemana raibnya semua tulisan itu....kebiasaan yang kerap ku lakukan menulis di mana saja ketika hasrat menulis mulai menguasai, dan tak cukup satu ruang karena aku tak suka terpenjara kata
Kulihat sosok tegap dengan dada bidang yang kerap datang di hari jumat menuju senja, dia asyik mengaduk lemon squash sambil sesekali mengernyit seolah berpikir tajam sambil memegang dan mengamati lembaran tisu yang dia pegang, ku amati lamat-lamat sambil berjalan mendekat " itu catatanku  pekikku tertahan...
" sie schierben diese ? "Â
Nanar mata itu itu menatapku tajam, aku hanya mengangguk perlahan dengan raut kebingungan...dia merogoh sesuatu dari kantong jas abu-abunya dan kulihat lembaran putih seperti name card terulur di hadapanku...
"datanglah besok ke sini, aku tertarik dengan tulisanmu, jika kau memiliki portofolio bawa untuk tambahan rekomendasimu agar aku tahu seperti apa tulisanmu "
pria itu berdiri dan meninggalkan beberapa lembar euro di samping gelas kosong yang licin tandas tak tersisa, dan kembali mengingatkanku jika dia menungguku esok
Jejak winter belum terhapus dari perut bumi Hamburg, tapi kejutan sisa winter menohok dan membuatku kehabisan kata, otakku langsung bekerja cepat...selesai menyelesaikan kerja paruh waktu di potton cafe segera ku kayuh sepeda dengan laju tercepat, semua tentang portofolio hasil tulisanku...Tuhan, aku tahu Kau tidak akan pernah meninggalkanku....
Hamburg begitu memanjakan mata...kehangatan matahari pertama begitu menggoda, sejenak ku hentikan laju sepedaku hanya untuk menikmati alunan musik jalanan dari pria paruh baya di pinggir jalanan...senyum bahagia serasa meledakan dada...akhirnya semua akan ada jalannya...notes tisuku akhirnya menemukan tuannya...
setiap permulaan itu sulit, ragu, takut dan tidak percaya diri dan itu semua adalah momok dari seorang penulis
Menulis buatku adalah sebuah pertarungan antara awal dan imajinasi. Pertarungan antara kata dan kejujuranÂ
Dan akhir winter menuju summer adalah awal di mana tulisanku mulai di publish...mungkin memang bukan sesuatu yang luar biasa bahkan amat begitu sederhana akan tetapi semua itu berakhir dengan nilai yang amat berbeda, karena pada akhirnya aku berani menengadahkan kepalaku dan berteriak ke pada dunia..." hei..akhirnya aku bisa "
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H