Mohon tunggu...
kazimi yu
kazimi yu Mohon Tunggu... WRITER AND ENTERPRENEUR -

Jemari dan ujung penaku adalah satu-satunya cara untuk mendekapmu ketika rinduku sudah membuncah...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hamburg: Waktu di Gagang Pintu

13 Juli 2016   00:17 Diperbarui: 13 Juli 2016   06:55 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senyum yang menyakitkan di ujung winter yang kerap membuatku harus berteriak dalam batinku " ibu...aku ingin pulang, peluk aku dan jangan pernah ijinkan aku jauh darimu lagi..." lirih isak tangisku sambil memasang napkin di pinggangku 

" nyeri itu datang lagikah ?? " pertanyaan yang menyentuh kudukku...dan ku balas dengan senyum kecut " bertahanlah beberapa pekan lagi " tepuk hangat pria tua itu menyemangatiku...dan senyum jahilku ku bagi...Terima kasih Tuhan, di setiap langkah perjuanganku Kau selalu temukan aku dengan orang-orang baik, masih seperti hari biasanya bekerja paruh waktu selepas kuliah adalah hal yang wajib aku lakukan, Jerman terlalu kejam bagi orang-orang malas dan mereka yang tidak memiliki tanah bertuan...hukum rimba kerap terjadi...jika kau tak kuat maka kau akan terlibas

Hanya untuk sebuah mimpi dan pengakuan jika aku bukan biasa saja...dan invalid tidak menjadikan aku kalah dengan lainnya, mungkin ini yang selalu membedakan aku dengan lainnya

Kali ini tamu tak seberapa ramai seperti biasanya, aku masih memiliki waktu untuk menyelesaikan beberapa makalah yang harus aku siapkan...senyum bijak si pemilik cafe adalah anugerah terbaik yang selalu aku syukuri, dengan segala keterbatasanku dia mau berbesar hati memberikan aku pekerjaan paruh waktu, hanya dengan kalimat sederhana ketika dia menerimaku dulu 

" denn ihr Indonesien und ich liebe das land, das sie "

sebuah alasan yang membuatku kerap tersenyum ... ternyata dia begitu mencintai Indonesia

Indonesia di mata dunia kala itu begitu terhormat dan begitu memiliki harga diri yang begitu tinggi, aku hanya berkata dari kaca mata seorang warga negara biasa dan hidup jauh dari tanah air beta...namun kemuliaan negeriku menjadikan aku begitu di hargai...menunjukan jika seorang pemimpin yang hebat adalah seorang pemimpin yang mampu menjaga keamanan dan kenyamanan bangsanya di manapun bangsanya berada

Jerman mengajariku untuk menjadi pribadi yang kuat, tidak perduli fisikmu seperti apa akan tetapi jika kau ingin keluar menjadi sebagai pemenang ikuti hungger games di kehidupan yang kau jalani

Dan berlari adalah hal yang sangat tidak menarik minatku,dan ini mungkin tidak berlaku bagi semua orang yang terkadang sengaja membeli sepatu jutaan rupiah dengan alasan supaya bisa berlari kencang, menantang diri di track tertentu kemudian berlomba-lomba untuk menjadi juara satu.

Dan Jerman mendidikku untuk aku selalu terus berlari atau bahkan ku siasati dengan berjalan cepat atau sesekali mengkayuh pedal kaki sepedaku dengan laju kencang hanya untuk mengejar jadwal kuliah atau menuju cafe tempat kerja part time ku atau untuk memastikan apakah supermarket di ujung flat masih buka atau tutup hanya untuk mendapatkan harga diskon di saat jam malam menuju pintu supermarket tutup.

supermarket ujung flat
supermarket ujung flat
Ya, itulah Jerman semua peraturan berjalan tepat waktu, tidak pernah akan ada masinis kereta yang mau berbelas kasih jika kamu terlambat 1 menit pun. 

Dan untuk ukuran mahasiswa Indonesia seperti aku yang nota benenya terkadang memegang jam karet khas Indonesia ini kerap kunilai terlalu kejam, bagaimana mungkin supir bus tega meninggalkan aku hanya karena aku terlambat sekian detik dan pintu bus sudah terlanjur di tutup, bahkan kerap tiket yang harganya begitu lumayan untuk ukuran kantong mahasiswa beasiswa lumayan sering terpaksa hangus dan harus membeli yang baru dan bukan hanya sekali akan tetapi dua kali terjadi dalam kehidupanku...akhirnya keputusan akhir aku harus memiliki sepeda 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun