Banyaknya turis asing yang tinggal di Bali, membuat banyak orang yang beranggapan Bali bukan bagian dari Indonesia. Harusnya hal tersebut menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk membatasi adanya turis asing di dalam negeri Indonesia ini, karena Bali dapat dikatakan sudah hampir kehilangan identitas aslinya.
Turis asing juga sudah terlalu banyak kepemilikan asset di Bali, apakah Indonesia tidak takut hal itu menjadi awal dari penjajahan selanjutnya? Karena lapangan pekerjaan di Bali memang banyak, namun kepemilikan dari tiap perusahaan saat ini mayoritas itu milik turis asing. Fenomena ini disebabkan karena pemerintah lebih mementingkan kuantitas turis di bandingkan kualitasnya.
Antropolog Universitas Warmadewa Denpasar, I Ngurah Suryawan mengatakan, fenomena turis asing ini disebabkan karena terbukanya keran pariwisata yang membuat Bali seakan menjadi tempat singgah. Hal ini bisa menjadi bom waktu jika terus menerus dibiarkan. Sebagian besar masyarakat Bali juga terlalu mengagungkan turis asing pada awalnya, yang membuat turis asing merasa disambut kedatangannya. Ironisnya, Sebagian turis asing ini malah menjadi pekerja di Bali, atau menjadi pemilik suatu perusahaan disana.
Dari kasus penggerebekkan laboratorium narkotika di Bali, masyarakat berharap hal tersebut menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk menyortir turis asing yang masuk ke Indonesia. Khusunya bagian Imigrasi harus bisa menyortir turis asing yang masuk ke Indonesia berdasarkan kualitasnya, bukan kuantitasnya.
Penelusuran lebih lanjut terkait produksi narkotika oleh turis asing di Indonesia juga harus menjadi fokus utama bagi pemerintah, khususnya BNN. Karena dampak besar yang di terima oleh masyarakat Indonesia adalah peningkatan pengguna atau pemakai dan peredar obat-obatan terlarang tersebut, juga berdampak buruk bagi citra negara Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H