itu dapat dilakukan dengan menggencarkan iklan layanan di masyarakat—di televisi atau di berbagai media sosial (baca: setiap orang memiliki akun media sosial dewasa ini) dalam bentuk iklan 'sisipan' tiba-tiba yang durasi tayangnya disarankan secara berkelanjutan mengingat awareness masyarakat Indonesia yang masih dikatakan belum ada di level tinggi untuk sesuatu yang penting, alih-alih permisif.Â
sekelas negara maju seperti Jepang saja masih memanfaatkan corong media seperti televisi untuk membangun karakter anak-anak usia dini di negaranya. Iklan yang membangun kemandirian anak disisipkan di antara acara televisi.
Penempatannya tentu juga sebaiknya di semua ruang-ruang publik, dengan harapan setiap elemen masyarakat terliterasi dengan baik.
Baca juga:
Praktik Eufemisme yang Tak Lekang Oleh Masa dan Kita Memakluminya
Pajak yang dibayar dan ditarik dari rakyat juga terasa bermanfaat digunakan untuk membayar influencer atau praktisi kesehatan jika memang dirasa perlu.
Edukasi-edukasi kesehatan jauh lebih penting dibanding mewacanakan BPJS diserahkan untuk diswastanisasi dengan alasan iuran perbulan dari pesertanya tidak dapat meng-cover keseluruhan penyakit;
langkah pencegahan tentu saja jadi garda awal sebelum ragam penanganan pada sebuah tindakan pengobatan.
Gizi Anak Terletak pada Orangtuanya
MBG tidak serta-merta mengajarkan anak-anak tidak bersyukur, tapi sebaliknya membuka mata kita bahwa gizi seorang anak terletak pada orangtuanya;Â
pemilih atau tidak anak terhadap asupan nutrisi dari apa yang dimakannya adalah tanggung jawab orangtuanya.Â
Penerapan edukasi-edukasi kesehatan terhadap masyarakat tentu tidak mungkin tidak menemui kendala tapi komitmen dan konsistensi untuk terus dan terus diupayakan saya rasa akan membuahkan hasil.
—
Pada akhirnya, saya berpendapat rasa syukur di pikiran—yang tadinya berakhir di perut—tiap anak-anak Indonesia bisa dibentuk dari regulasi aturan, pembuatan dan penerapan undang-undang serta tata kelola birokrasi yang adil dan tidak tebang pilih; dari hulu ke hilir—dan ini tentu saja tidak cukup dibahas hanya dengan segelas kopi.
Tabik.