Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Femisida Dini Sera: Pepesan Kosong "Fiat Justitia Ruat Caelum"?

31 Oktober 2024   06:10 Diperbarui: 31 Oktober 2024   08:16 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sejumlah uang dalam koper untuk menyuap hakim. (Foto oleh Cottonbro Studio | Source Pexels.com) 

Setelah mengetahui—dari berbagai berita yang saya baca—jika Ronald Tannur divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya (yang terdiri dari Erintuah Damanik sebagai ketua dan Mangapul serta Heru Hanindyo sebagai anggota) pada 24 Juli 2024 yang lalu atas meninggalnya Dini Sera Afrianti, hati saya langsung tak karuan.

Berang sudah barang tentu, kecewa apalagi, prihatin pun tak berbilang; semua perasaan itu bergumul menjadi satu. 

Ronald yang merupakan anak dari Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Edward Tannur itu memukul Dini menggunakan botol, melindas tangannya dengan ban mobilnya, dan memasukkan saja tubuh tidak berdayanya ke dalam bagasi.

Alih-alih membawanya langsung ke rumah sakit, Dini malah dibawa terlebih dahulu ke apartemennya sebelum dibawa ke rumah sakit—yang pada akhirnya dinyatakan meninggal karena death on arrival (idiom ini kerap digunakan dalam dunia medis sebagai kiasan seseorang yang meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit/layanan kesehatan terdekat yang bisa dijangkau). 

Kronologi meninggalnya Dini membuat pilu. Bagaimana rasa sakitnya terlindas?

Cuma Dini yang tahu..

Namun, satu pertanyaan yang ingin saya tanyakan pada ketiga hakim tersebut ketika itu: 

para majelis hakim yang terhormat, apa kalian tahu apa femisida?

Ya, korban yang hilang nyawanya di tangan orang yang kalian bebaskan itu adalah korban femisida!

—

Femisida yang dimaknai 'biasa-biasa' saja

Femisida dalam arti sederhana adalah pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan SENGAJA karena jenis kelamin atau gendernya.

Baca juga:

Han Kang yang Istimewa Peraih Nobel Sastra, Mendobrak Dunia dan Patriarki Korea

Banyak motif yang melatarbelakangi mengapa femisida terjadi, di antara lain rasa cemburu, ingin memiliki (memandang perempuan sebagai obyek layaknya barang), merasa superior dan ingin terlihat dominan, ingin menguasai harta benda, atau merasa puas setelah melakukan femisida tersebut yang bisa saja masuk ke ranah gangguan kejiwaan. 

Di masyarakat pemahaman femisida juga masih tergolong bukan perkara yang serius, bahkan kerap 'hanya' masuk pasal penganiayaan.

Sosok Ronald Tannur saat tertangkap untuk kali kedua. (Source Kompas.com)
Sosok Ronald Tannur saat tertangkap untuk kali kedua. (Source Kompas.com)

Jadi, tak heran semisal ada kasus suami menghantam kepala istrinya dengan sebuah benda dianggap cuma cekcok rumah tangga biasa; atau jika ada kekasih yang menampar kekasihnya dengan membabibuta hingga mencekiknya nyaris kehabisan napas hanya karena kekasihnya itu ditaksir orang dan menuduh ia berselingkuh. 

Sekadar membuka 'mata' dari kaca mata hukum (yang saya catat secara khusus secara pribadi), kasus femisida atau pembunuhan terhadap perempuan salah satunya diatur Pasal 44 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) serta UU KUHP Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340, Pasal 344, Pasal 345, dan Pasal 350. 

Data Komnas Perempuan pada tahun 2023 mencatat femisida terbanyak meliputi Kekerasan Terhadap Istri (KTI) sebanyak 64 kasus, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) 33 kasus, Kekerasan Mantan Pacar (KMP) 11 kasus, dan Kekerasan Mantan Suami (KMS) terdata 1 kasus; 

dan yang membuat Dini menurut Siti Aminah Tardi— Komisioner Komnas Perempuan—harus kehilangan nyawanya adalah femisida relasi intim atau intimate partner femicide (ipf).

—

Fiat justitia ruat caelum dan karut marut lembaga peradilan 

Fiat justitia ruat caelum adalah adagium berbahasa Latin yang paling terkenal dalam dunia hukum. Siapapun orang yang bersinggungan—langsung—dengan dunia hukum tahu adagium ini bahwa keadilan harus ditegakkan meski langit runtuh.

Tapi, 'keberpihakan' adagium tersebut pada kasus Dini akhirnya menemukan ujung—meski setelah setahun kematiannya;

ternyata vonis bebas Ronald Tannur adalah 'kongkalikong' orang-orang hukum yang menangani perkaranya. Kejanggalan publik termasuk saya pun ternyata terbukti dan terjawab sudah. 

Meskipun kepercayaan saya terhadap lembaga peradilan hukum di negeri ini tidak bisa dikatakan baik, tapi setidaknya raut muka kecewa Ronald Tannur yang digelandang dari perumahan Victoria Regency, Surabaya, Jawa Timur, sedikit memaksa saya harus menambah satu catatan baik terhadap sistem hukum Indonesia.

Seperti yang kita ketahui bersama melalui berita-berita yang beredar, Ronald diringkus oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur yang berkoordinasi dengan Kejaksaan Negeri Surabaya.

Sebab-musababnya adalah suap; ketiga hakim yang memvonis Ronald Tannur disuap dengan sejumlah uang.

Ilustrasi sejumlah uang dalam koper untuk menyuap hakim. (Foto oleh Cottonbro Studio | Source Pexels.com) 
Ilustrasi sejumlah uang dalam koper untuk menyuap hakim. (Foto oleh Cottonbro Studio | Source Pexels.com) 

Pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat adalah perpanjangan tangan yang bersangkutan dan aktor lainnya adalah mantan salah satu pegawai di Mahkamah Agung, Zarof Ricar—ia yang menjadi jembatan antara pengacara Ronald Tannur terhadap ketiga hakim tersebut.

Dari sini dapat saya simpulkan bahwa yang bisa merusak hukum dan menghancurkannya dari dalam boleh jadi adalah yang 'membuat' hukum itu sendiri.

Karena mereka tahu bagaimana komponen hukum beserta dasar-dasar hukumnya.

—

Untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak.

Penyuapan yang semula telah dibuatkan skenarionya dengan memberikan sejumlah uang dalam bentuk mata uang asing untuk ketiga hakim—yang bahkan membuat ketiganya dijatuhi sanksi pemberhentian tetap dengan pensiun karena melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) pada 26 Agustus 2024 yang lalu—ternyata tidak akan bisa mereka 'nikmati'—alih-alih itu yang menjerat ketiganya ke bui. 

Hakim Erintuah Damanik cs yang oleh tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Rabu, 23 Oktober yang lalu. 

Ketiganya pun dijerat dengan Pasal 5 Ayat 2 Juncto Pasal 6 Ayat 2 Juncto Pasal 12 huruf e Juncto Pasal 12B Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Tegaknya hukum pada kasus Dini Sera Afrianti bisa dikatakan pepesan kosong?

Mengetahui kenyataan bahwa ketiga hakim tersebut ternyata menerima sejumlah uang untuk melepaskan Ronald Tannur dari dakwaan femisida yang dilakukannya terhadap Dini Sera Afrianti jelas mencoreng muka para hakim di negeri ini, yang saya ingat betul belum lama ini—sebelum pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden—merongrong pemerintah untuk menuntut kenaikan gaji;

Baca juga:

Kompasiana Awards 2024: Ucapan Terima Kasih Saat Pelantikan Nakhoda Baru Indonesia

Ilustrasi korban percobaan femisida. (Source Kompas.com)
Ilustrasi korban percobaan femisida. (Source Kompas.com)

namun, poin penting dari kasus ini adalah (baca: semakin menegaskan) bahwa karut marut segala hal yang menimpa perempuan belumlah dianggap SERIUS di negara ini. 

Lantas, apakah dianulirnya vonis bebas Ronald Tannur atas Dini Sera Afrianti setelah setahun kematiannya dikatakan pepesan kosong penegakan hukum (baca: kasus femisida) di negeri ini? 

Untuk ini, saya berada di persimpangan jalan dua arah:

boleh jadi tidak dikatakan pepesan kosong karena ada pembuktian berkelanjutan paska kasasi vonis bebas Ronald Tannur, namun bisa pula dikatakan sebaliknya karena saya (dan juga publik) kecolongan karena telah terjadi proses suap itu di awal. 

Ronald Tannur yang akan menjadi pesakitan karena harus menjalani hukuman 5 tahun bui nyata-nyatanya memang terbukti secara sah bersalah, namun jika boleh jujur, itu tidak serta merta membuat saya puas—meskipun patut diapresiasi.

Ronald Tannur seharusnya dijatuhi hukuman sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang semula menuntutnya 12 tahun penjara—bahkan BOLEH atau SEHARUSNYA lebih dari itu setelah ia ketahuan menyuap hakim dengan sejumlah uang. 

Femisida dan Feminisme

Beberapa hari lalu di X ada ribut-ribut menyoal—yang pada intinya mempertanyakan—memangnya apa yang bisa feminis lakukan untuk kebaikan? 

Saya hanya tertawa dalam hati, sembari menggumam bahwa seorang yang benar-benar feminis tidak perlu ikut berdebat konyol seperti itu; mereka tahu pada hal apa-apa saja yang pantas untuk direspon. 

Femisida adalah satu dari sekian banyak yang perlu menuntut kaum feminis untuk vokal dalam paham feminisme yang ia perjuangkan;

dan satu lagi yang perlu digarisbawahi:

jangan pernah membandingkan (dengan tidak apple to apple) antara feminis dengan perempuan matrealistis atau dengan perempuan yang sekadar minta princess treatment. 

Itu sangat tidak bijak.

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun