namun, poin penting dari kasus ini adalah (baca: semakin menegaskan) bahwa karut marut segala hal yang menimpa perempuan belumlah dianggap SERIUS di negara ini.Â
Lantas, apakah dianulirnya vonis bebas Ronald Tannur atas Dini Sera Afrianti setelah setahun kematiannya dikatakan pepesan kosong penegakan hukum (baca: kasus femisida) di negeri ini?Â
Untuk ini, saya berada di persimpangan jalan dua arah:
boleh jadi tidak dikatakan pepesan kosong karena ada pembuktian berkelanjutan paska kasasi vonis bebas Ronald Tannur, namun bisa pula dikatakan sebaliknya karena saya (dan juga publik) kecolongan karena telah terjadi proses suap itu di awal.Â
Ronald Tannur yang akan menjadi pesakitan karena harus menjalani hukuman 5 tahun bui nyata-nyatanya memang terbukti secara sah bersalah, namun jika boleh jujur, itu tidak serta merta membuat saya puas—meskipun patut diapresiasi.
Ronald Tannur seharusnya dijatuhi hukuman sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang semula menuntutnya 12 tahun penjara—bahkan BOLEH atau SEHARUSNYA lebih dari itu setelah ia ketahuan menyuap hakim dengan sejumlah uang.Â
Femisida dan Feminisme
Beberapa hari lalu di X ada ribut-ribut menyoal—yang pada intinya mempertanyakan—memangnya apa yang bisa feminis lakukan untuk kebaikan?Â
Saya hanya tertawa dalam hati, sembari menggumam bahwa seorang yang benar-benar feminis tidak perlu ikut berdebat konyol seperti itu; mereka tahu pada hal apa-apa saja yang pantas untuk direspon.Â
Femisida adalah satu dari sekian banyak yang perlu menuntut kaum feminis untuk vokal dalam paham feminisme yang ia perjuangkan;
dan satu lagi yang perlu digarisbawahi:
jangan pernah membandingkan (dengan tidak apple to apple) antara feminis dengan perempuan matrealistis atau dengan perempuan yang sekadar minta princess treatment.Â
Itu sangat tidak bijak.
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H