Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Naik Kereta untuk Kali Pertama dan Belum Pernah Lagi Setelahnya

21 Oktober 2024   06:21 Diperbarui: 21 Oktober 2024   08:03 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Model kursi tegak kelas ekonomi perjalanan jarak jauh KAI. (Sumber Kompas.com) 

Judul tulisan di atas mewakili pengalaman saya yang kali pertama menaiki moda transportasi umum berupa kereta (namun tidak pernah lagi setelahnya)—dan kenangan itu nyaris berbilang dua belas tahun lalu.

—

Perjalanan kereta pertama saya itu terjadi di bulan November penghujung tahun 2012. 

Tentu saja akan saya ingat dengan baik karena hari itu adalah hari di mana saya menuju ibu kota kabupaten penempatan kerja saya (dan beberapa rekan sejawat lain) sebagai karyawan di sebuah bank swasta.

Kalau boleh memutar memori, rasanya saya benar-benar heboh ketika itu. 

Bagaimana tidak, selepas training singkat dari manajemen bank selama empat hari di sebuah hotel, saya beserta beberapa rekan sejawat diminta segera bersiap-siap ke lokasi penempatan—padahal proses training baru berakhir pukul 12 siang.

Hari itu hari Minggu dan keesokan hari adalah hari kerja. Benar-benar tidak diberi waktu banyak untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Kami pulang ke rumah masing-masing setelah training hanya untuk packing.

Hectic? 

Tentu saja!

—

Lokasi penempatan kerja saya beserta rekan yang lain adalah Martapura, ibu kota kabupaten Ogan Komiring Ulu Timur (OKU Timur), waktu itu bupatinya masih Pak Herman Deru, mantan Gubernur Sumatra Selatan yang juga mencalonkan diri sebagai gubernur (petahana) pada kontestasi Pilkada November mendatang.

... dan begitulah, hidup memang selalu penuh kejutan yang terkadang di luar dugaan, tapi untungnya mengenai bagaimana cara kami menuju ke Martapura, saya dan rekan-rekan sudah mendiskusikannya terlebih dahulu.

Setelah gagal mendapat mobil travel ke Martapura karena kadung terlambat memesan, alhasil kami memutuskan opsi pengganti yakni menggunakan kereta, meski jelas tidak ada satu pun dari kami yang punya pengalaman menjejakkan kaki di Martapura. 

Seorang rekan memberitahu memang ada sanak jauhnya yang tinggal di Martapura. Tapi, sebagai orang yang tahu diri, kami tidak ingin merepotkan (walau pada akhirnya kami diantarkan juga menggunakan mobil sanaknya itu). 

Jadilah kami yang bermodalkan alamat mess tempat penempatan dan keberanian yang dipertaruhkan, kami menuju Martapura menggunakan kereta.

—

Setelah melalui adegan yang terkesan diburu-buru waktu seperti saat saya yang ditemani Ibu yang sempat membeli baju batik di departemen store (untuk tambahan stok demi dress code yang harus digunakan dalam sekali seminggu) dua jam sebelum keberangkatan, saya dan rekan-rekan pun sampai di stasiun Kertapati Palembang sekitar pukul enam sore; 

kami sengaja memilih titik kumpul yang sama sebelum ke stasiun Kertapati. Saya beserta rekan-rekan sepakat menumpang mobil salah satu dari kami, ia sengaja diantarkan sang ayah. Maklum anak perempuan bungsu. 

Saya yang tadinya cukup kerepotan sepanjang jalan untuk sampai ke titik kumpul (saya menggunakan Trans Musi lengkap dengan koper dan dua tas jinjing—satu tas barang berisi beberapa buku dan barang-barang keperluan lain dan satu tas lain adalah tas tangan pribadi) tak segan saya mengucapkan terima kasih karena telah diberi tumpangan.

Setelah dimintai KTP sebagai bukti identitas untuk "menebus" tiket sebagai penumpang, kami pun menunggu menaiki kereta. Jadwal kereta berangkat pukul 9 malam dan kami hanya kebagian kereta ekonomi. 

Martapura secara letak terbilang berada nyaris di tengah-tengah antara Palembang dan Lampung. Dulu, jika menggunakan mobil travel durasi perjalanan Palembang-Martapura atau sebaliknya ditempuh selama kurang lebih 5-6 jam. Entah kalau sekarang. Saya masih ingat saya yang biasa berangkat pukul 5 sore dari Martapura, biasanya akan sampai di Palembang pada pukul 10 malam atau 11 kurang. Begitu juga sebaliknya. 

Tapi, saya tidak pernah lagi menaiki travel dari dan ke Martapura menggunakan travel sejak saya resign.

Namun, perjalanan Minggu malam itu adalah perjalanan kereta pertama saya—dan menjadi perjalanan jarak jauh saya yang juga untuk kali pertama: Palembang-Martapura. 

Ya, memang akan selalu ada hal yang pertama kali dalam hidup seseorang. 

Peristiwa yang tentunya akan mendapat ruang tersendiri dalam kepala saya dengan kategori memorable, meski saya tidak pernah mengumbar secara jujur di hadapan rekan-rekan saya yang lain ketika itu. 

Kami memesan tiket kereta jarak jauh kelas ekonomi Palembang-Bandar Lampung—dan sewaktu saya menyusuri koridor demi menuju kursi menurut tiket; saat saya menjejakkan kaki di kereta, saya membatin sendiri. 

Oh, begini ya penampakan nyata kelas ekonomi kereta api.

—

Pencahayaan dalam kereta yang menjadi pengalaman pertama saya menaiki kereta api malam itu agak-agak horor. Entahlah, sejauh yang bisa saya ingat memang demikian—dan semakin terasa horor karena saat itu turun hujan.

Seketika saya seperti merasa menaiki Hogwart Express dengan penggambaran suasana yang mencekam saat Dementor datang untuk mencari Sirius Black di film Harry Potter and The Prisoner of Azkaban. 

Lampu kereta kelas ekonomi Palembang-Badar Lampung di tahun 2012 yang memang seperti itu atau bagaimana; atau saya yang sudah terlalu terbiasa dengan pencahayaan terang? 

Yang jelas agak bikin ngeri saya. 

Untuk menutupinya, saya sibuk membaca buku Sitta Karina (meskipun saya sadar pencahayaannya tidak bisa dikatakan bagus) sembari mendengarkan musik yang nyaring berbunyi melalui headset di telinga—sementara beberapa rekan saya sudah ada beberapa yang tertidur dan sebagian yang lain mulai terkantuk-kantuk.

Kami harus saling menjaga, begitu aturan mainnya. Kami saling terkoneksi begitu rupa meski tanpa banyak bicara karena sudah kelelahan sepanjang hari. Kami tidak ingin ada barang-barang kami yang hilang.  

Salah satu dari kami sempat bertanya pada petugas sebelum kereta berangkat, menurut petugas kereta, tidak ada stasiun utama di Martapura, hanya ada stasiun kecil tempat pemberhentian ala kadarnya.

Oleh karena itulah kami tidak boleh kelewatan; kami bukan menuju Lampung.

Model kursi tegak kelas ekonomi perjalanan jarak jauh KAI. (Sumber Kompas.com) 
Model kursi tegak kelas ekonomi perjalanan jarak jauh KAI. (Sumber Kompas.com) 

Sepanjang perjalanan duduk di kursi dengan model yang tidak bisa diatur ketegakannya—yang membuat punggung saya tidak bisa bersandar barang sebentar—saya bertanya-tanya kapan sampainya kereta ini.

Oh, Tuhan, badan saya sudah meronta ingin istirahat.

—

KAI sendiri katanya memang sudah banyak berbenah, bahkan beberapa berita yang berseliweran jauh berubah sejak di bawah Ignasius Jonan sebagai menteri perhubungan. Info ini saya dapat dari X saat peristiwa empat orang yang tertabrak kereta yang menuai viral beberapa waktu lalu. 

Sayangnya, saya tidak bisa menjelaskan lebih banyak mengenai pengalaman menaiki kereta dengan pengalaman saya menggunakan kereta yang hanya sekali itu. Belum lagi itu dilakukan saat malam hari sehingga tidak banyak pemandangan sepanjang perjalanan yang bisa saya ceritakan.

Di bawah kepemimpinan Direktur Utama KAI, Didiek Hartantyo, harapan saya tidak muluk-muluk, semoga KAI tetap menjadi transportasi publik yang terus berinovasi dan terus bertransformasi untuk lebih baik ke depannya, terutama bagi pengguna setianya.

Meski belum menjadi pengguna tetap kereta, rasa-rasanya yang dapat saya garisbawahi adalah kenyamanan dan keamanan tetap menjadi 2 faktor PENTING jika KAI ingin lebih dicintai masyarakat—bukan hanya semata-mata ada karena kebutuhan.

Dan, oh, tentu saja, semoga tidak ada lagi cerita penumpang yang sudah pesan tiket jauh-jauh hari malah tidak bisa duduk di kursi yang dipesan layaknya cerita seorang pengguna kereta (beserta keluarganya) di laman X-nya beberapa waktu lalu; 

petugas kereta malah terkesan membiarkan penumpang lain mengambil kursi mereka dan meminta beliau yang kursinya diserobot untuk mencari kursi kosong yang lain.

Atau ini sering terjadi hanya saja saya tidak tahu karena bukan pengguna tetap kereta? 

Mungkin lain cerita kalau saya lebih sering menggunakan kereta—jika demikian, mungkin review saya akan lebih terasa nyata dan saya lebih banyak bercerita dengan beberapa highlight yang menjadi sorotan saya. 

Maaf—jika merujuk pada narasi topik pilihan kali ini—tulisan ini sesungguhnya bukan berisi pengalaman yang dikatakan manis tapi yang jelas berkesan bagi saya secara personal walau dengan cara yang berbeda. 

Semoga saya berkesempatan lagi naik kereta.

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun