Secara personal, saya memang tipikal orang yang serius, tapi serumit-rumitnya jalan pikiran saya, saya tidak ingin saya dan para pembaca tulisan saya berjarak meski terkadang pemilihan diksi cukup membuat saya kerepotan.
Hanya saja, saya tidak akan membantah bahwa isu-isu sosial budaya yang ada di masyarakat terutama yang menyoal keseteraan gender adalah konsentrasi saya. Itu juga berangkat dari melihat dan merasakan pengalaman-pengalaman yang tentu saja lebih banyak tidak enaknya dibandingkan happy-nya.
Mungkin tidak semua orang menyukai isu yang saya—atau kita sebagai penulis dengan konsentrasi kita masing-masing—soroti, tapi jika tidak saya ringkas menjadi tulisan justru akan membuat keresahan saya semakin rumit.
Apa yang saya tawarkan sebagai tulisan mungkin hanya dibaca sebagian orang dan itu tidak jadi masalah. Namun, akan menjadi masalah jika saya memilih ruwet dengan pikiran saya tanpa pernah membaginya.
—
Katanya pula, pencalonan ini dinilai dari keaktifan interaksi?
Duh, ini lebih parah lagi?
Saya tidak terlalu aktif menyapa sesama Kompasianer, sangat dikatakan jarang walau sekadar leave comment meskipun saya membaca secara tuntas artikel yang saya kehendaki untuk saya baca.
Saya siap jika ingin dikatakan sombong, biarpun saya tidak ada niat demikian; dalam keseharian pun saya tidak pandai berbasa-basi. Seorang teman pernah bilang saya adalah orang yang hanya bicara pada apa yang saya anggap penting, tapi suka mengamati pada hal-hal yang mungkin luput dari perhatian orang.
Batas di antara menjadi diri sendiri dan tuntutan untuk ramah dalam berkomunikasi terkadang menjadi ganjalan bagi sebagian orang, saya contohnya.