Baca juga:
Pilkada Serentak 2024: Keterwakilan Perempuan Masih Sebatas Lipstik Politik?
Wacana mereka yang disebut sebagai "Anak Abah" tersebut membuat geger khalayak tak terkecuali bagi pihak KPU sebagai penyelenggara pemilu.Â
Tak tanggung-tanggung, sebagai bentuk antisipasi, KPU bahkan akan menjerat barisan anak abah ini dengan pasal pidana jika tetap ngotot "mengkampanyekan" ajakan itu.Â
Coblos semua adalah hak politik sekaligus merupakan Hak Asasi Manusia.Â
Apakah ajakan coblos semua tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk lain dari keengganan partisipan pemilu (dalam hal ini barisan anak abah) dalam memilih alias masuk golongan putih (golput)?
Saya pribadi mengiyakan dan sepakat bahwa coblos semua adalah representasi golput.Â
Golput sendiri termasuk salah satu hak dalam sistem pemilihan umum (pemilu) Indonesia yang sering disalahpahami penafsirannya.Â
Baca juga:
Meneropong Zaken Kabinet ala Prabowo
Merujuk pada Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di sana tertulis bahwa negara menjamin setiap warganya untuk menggunakan hak pilihnya atau tidak—sehingga menjadi jelas bahwa golput tidak menyalahi aturan UU.
Dikatakan pula dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 1 dan Undang-Undang No. 7 tahun 2017, siapapun dianjurkan untuk memilih namun kedua pasal tersebut pun tidak melarang golput secara eksplisit.
Pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menyatakan siapapun yang golput tidak boleh dijerat pidana.Â
Menurutnya, bahwa gerakan golput—baik yang mengajak abstain atau mencoblos semua adalah bagian dari ekspresi politik yang tidak boleh dikriminalisasi;
memilih atau tidak memilih adalah kehendak bebas dari setiap warga negara sepanjang dilandasi kesadaran dan pemahaman yang otentik atas setiap konsekuensinya.