***
Sebagai anak yang dibesarkan di era 90an, saya merasakan kenikmatan tersendiri sebagai seorang pembaca, terutama membaca buku.
Saya yang berangkat dari keluarga yang orang tuanya tidak bisa memberikan uang jajan yang banyak, tempat penyewaan buku menjadi salah satu solusi saya memperoleh bacaan selain berkunjung ke toko buku tentunya (baca: untuk membaca buku secara gratis melalui buku yang sampulnya sengaja dilepas). Dulu tak sulit menjumpai tempat penyewaan buku.
Tetapi, tahun berganti, teknologi pun kian canggih dan cara seseorang memperoleh bahan bacaan juga semakin beragam. Hanya, buku tetap tak tergantikan.
Namun, meskipun demikian—meski budaya membaca buku tetap terus diupayakan di antara gempuran kenikmatan instan berjejaring media sosial, kegiatan membaca buku tak urung masih saja menimbulkan masalah di antara pelakunya;Â
Ini bisa disebut sebagai diskursus di antara pembaca buku.
Baca juga:
Simalakama Budaya Jalan Kaki di Indonesia
Diskursus pembaca buku
Ada beberapa penerjemahan bahasa dari kata terkait diskursus ini, namun secara sederhana diskursus ini dapat diartikan sebagai bentuk komunikasi secara lisan atau tulisan yang berangkat dari asumsi-asumsi umum yang menjadi topik pembahasan yang tak jarang menimbulkan perdebatan karena diindividualisasi—yang justru menjauhkannya dari realitas yang ada.Â
Dan bagi para pembaca buku itu sendiri, setidaknya ada beberapa diskursus, di antaranya:
#1 Fiksi dan non fiksi
Di antara pembaca buku, ribut-ribut lebih baik membaca buku fiksi atau non fiksi ini sudah jadi "lagu" lama,
yang bersikukuh bacaan non fiksi lebih baik akan menganggap pembaca fiksi sebagai warga kelas dua—bahkan malah ada yang mengira membaca fiksi tidak ada gunanya.
Baca juga:
Novel Fantasi untuk Siapa?
Padahal membaca cerita fiksi sama bermanfaatnya dengan membaca non fiksi.Â