Pesta rakyat lima tahunan tak hanya berbicara tentang bagaimana para partai politik bersiasat menggaet suara rakyat tetapi juga bagi para perempuan untuk unjuk gigi.
Itu bisa dilihat makin banyak bermunculannya gambar para perempuan Indonesia pada surat suara saat pemilihan DPR RI, DPRD dan DPD yang lalu—meski tetap tidak sebanyak calon kandidat laki-laki. Begitu juga terhadap calon kepala daerah.
Jika di Jawa Timur punya tiga srikandi (Khofifah, Tri Risma, Luluk) yang memperebutkan kursi nomor satu sebagai gubernur atau Airin Rachmi yang tampak bersinar saat proses pencalonannya sebagai calon gubernur Banten yang menuai perhatian, di provinsi saya, Sumatera Selatan, pun demikian.
Saya ambil contoh Rizky Aprilia yang menjadi calon wakil gubernur mendampingi Edy Santana Putra (mantan wali kota dua periode dari 2003-2013) atau Anita Noeringhati yang mendampingi petahana Mawardi Yahya (mantan wakil gubernur Sumatera Selatan periode 2018-2013)— atau di Palembang tempat saya tinggal, ada duet pasangan Fitrianti Agustinda-Nandriani Oktarina sebagai calon wali kota dan calon wakil wali kota Palembang.
Fitrianti-Nandriani, keduanya didukung oleh Nasdem, PAN, PKB, Perindo dengan gabungan suara dengan total sebesar 312.294; KPU Palembang menetapkan syarat minimal 60.397 suara untuk pemilihan wali kota/wakil wali kota atau 6,5% dari jumlah 929.176 suara sah.Â
Perempuan di Panggung Politik
Akan menjadi menarik jika membicarakan perempuan di panggung politik. Terutama saya secara pribadi.Â
Politik bagi perempuan tak ubahnya medan perang dan tanpa dukungan, politik bagi perempuan adalah omong kosong.
Perempuan yang memilih untuk terjun dan berada di panggung politik dianggap sudah "SELESAI"Â dengan urusan domestiknya.Â
Kita tak perlu menutup mata bagaimana perempuan selalu diposisikan untuk harus bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga (termasuk pengasuhan anak).Â
Budaya patriarki yang mengakar kuat menjadi alasan yang tak terbantahkan mengapa peran perempuan masih jauh tertinggal dari laki-laki di ranah politik—atau dengan kata lain, politik dianggap bukan tempatnya perempuan.Â
Baca juga:
Memutus Rantai KDRT pada Perempuan, Mungkinkah?
Keluarga adalah pintu pertama bagaimana perempuan mendapat dukungan. Dengan membiarkan perempuan terlibat di ranah publik seperti panggung politik membuat perempuan mampu mengaktualisasikan serta merepresentasikan ide dan gagasan sebagai bentuk pengabdiannya di masyarakat—terlepas bagaimana proses dan hasilnya kelak.Â