Benarkah Vox Populi Vox Dei yang populer itu sering disalahartikan—dan tak jarang menimbulkan perdebatan?
***
#1
Seorang komika yang cukup memiliki nama di panggung hiburan beberapa hari lalu dengan lantang menuliskan cuitan di X (Twitter)—yang merujuk cuitannya tersebut dapat saya artikan:Â
rakyat adalah pemimpin tertinggi di republik ini—bukan presiden; presiden bertugas melayani rakyat. Presiden adalah pelayan rakyat; rakyat adalah atasan presiden), membuat geger.Â
Ada yang sependapat tapi tidak sedikit pula yang memilih untuk tidak sepakat.
Belakangan, sebagian orang mungkin menilai komika ini layak masuk kategori the government enemy karena responnya berupa kritik dinilai cukup "keras" menyoal kebijakan yang ditujukan atas nama rakyat.Â
Baca juga:
Tren Dumb Phone Menggugat Realitas
Sejauh saya membaca tiap komentar yang ada, saya pun tetap pada pendirian saya: saya sependapat dengannya.Â
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi yang pemerintahannya pada akhirnya dibentuk melalui pemilihan umum, tidak bisa dipungkiri bahwa rakyat—MEMANG—adalah pemilik kedaulatan tertinggi dan pemerintah yang diberi mandat HARUS mewakili kehendak dan bertanggung jawab terhadap rakyat;
atau untuk lebih sederhananya begini:
Siapapun yang datang kepada rakyat dengan membawa visi dan misi, menawarkan cara kerja dan solusi; berharap gambarnya dicoblos di bilik suara, sudah barang tentu mengartikan bahwa kedudukan rakyat tidak lebih rendah daripadanya.Â
Baca juga:
Riuh Pilkada: Rakyat dan Akrobat Politik Para Elit
#2
Vox Populi Vox Dei, adagium atau peribahasa ini tidak asing di dunia politik—maupun sosial.Â
Secara harfiah bahasa Latin Vox Populi berarti "suara rakyat"—sedangkan Vox Dei berarti "suara Tuhan";
yang jika diterjemahkan secara sederhana, Vox Populi Vox Dei adalah suara rakyat yang mewakili suara Tuhan.
Vox Populi Vox Dei sendiri tidak bisa lepas dari sistem demokrasi di mana melalui adagium ini orientasinya sudah pasti tentu mengedepankan betapa pentingnya suara rakyat melalui setiap masukan dan kritik; melibatkan rakyat dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kebijakan publik—bukan sekonyong-konyong rakyat ditempatkan pada posisi yang ujug-ujug langsung diberikan sosialisasi.Â
Baca juga:
X (Twitter) di Antara Tone Deaf dan Kritik SosialÂ
#3
Kabar tidak baiknya, jika tidak benar-benar dipahami, Vox Populi Vox Dei kerap pula salah dimaknai—bahkan oleh rakyat sendiri, yang karena merasa mewakili suara Tuhan, rakyat sering bertindak "ugal-ugalan" atau parahnya HANYA ikut-ikutan—
(baca: dampaknya tentu akan merugikan rakyat itu sendiri yang hanya karena mengedepankan emosi sesaat melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang alih-alih mempertimbangkan moral sebagai landasan dari sebuah tindakan (bertindak tidak rasional dan cenderung kebablasan); membuat rusuh dengan menggelar unjuk rasa yang menciptakan chaos)—
atau untuk mereka yang—sedang atau akan—berkuasa atas nama rakyat, frase ini sering dijadikan tunggangan politik demi sebuah kepentingan.Â
#4
Lantas, pertanyaannya, apakah rakyat tidak boleh menggugat jika mandat yang diberikan tidak digunakan untuk sebaik-baiknya kepentingan rakyat?;
apakah rakyat tidak boleh menunjukkan bentuk ketidakpuasan ketika hajat hidupnya jauh timpang dengan mereka yang diberi mandat?
Agaknya menjadi wajar saja tatkala rakyat merasa terpanggil untuk bersuara layaknya Peringatan Darurat yang terjadi pada Kamis, 22 Agustus lalu (baca: yang bahkan rakyat cukup merasa puas dengan tidak disahkannya RUU Pilkada imbas dari putusan MK saat mengadakan gelombang protes di depan gedung dewan rakyat;
yang bahkan oleh anggota dewan tidak disertai permohonan maaf pada rakyat karena bukan saja hanya memiliki NIAT tapi juga sudah BERBUAT dengan menyusun draft untuk menggagalkannya).Â
Pada akhirnya, demonstrasi adalah antiklimaks yang tak bisa terhindarkan (baca: setelah melakukan berbagai upaya) sebagai bentuk rasa kecewa yang teramat sangat terhadap mereka yang oleh rakyat disebut wakil rakyat.Â
Baca juga:
Budaya Malu dan Keterwakilan Rakyat
#5
Seperti petuah bijak berbahasa Inggris yang berkata we can't control the future, but we can control our present actions;
pada akhirnya, intisari Vox Populi Vox Dei dalam tulisan ini—bagi rakyat maupun mereka yang diberi mandat, tidak jauh-jauh berbicara bagaimana menahan diri untuk tidak berbuat sewenang-wenang alih-alih melampaui kekuasaan yang dimiliki masing-masing;
terlebih bagi penguasa, ini memberikan sinyal bahwa segala rentetan yang ditunjukkan oleh rakyat di muka umum tak ubahnya sebagai bentuk peringatan bahwa jabatan politik SEHARUSNYA benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat—bukan kepentingan siapapun diluar dari itu.Â
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H