Di X, trending ini dengan cepat menyebar bagai virus; ia berantai dari satu akun ke akun lainnya.Â
Tiap hari selalu saja ada bahasan baru, termasuk kasus-kasus "baru" yang terjadi di masyarakat seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga (kdrt), kasus kekerasan terhadap anak dan lain sebagainya.Â
Baca juga:
Memutus Rantai KDRT pada Perempuan, Mungkinkah?
Baca juga:
Dari Daycare, Orang Tua Pekerja dan Masalah Sistemik di Dalamnya
Meski harus pandai-pandai dalam mencerna setiap berita yang lewat di timeline. Tapi ada satu hal penting yang pada akhirnya bisa saya pelajari dari platform media sosial yang sudah saya buat sejak tahun 2009 ini yakni bagaimana kritik sosial bisa dinarasikan untuk kemudian disampaikan pada khalayak.Â
#3
Belakangan istilah Tone Deaf akrab di telinga kita. Secara harfiah, tone deaf berarti tuli nada. Namun, secara pemaknaan, ia merujuk pada seseorang yang sulit mengerti apa yang dirasakan orang lain (baca: tidak memiliki kepekaan).
Tone deaf kerap dialamatkan pada orang kaya atau pada mereka yang memiliki privilidge lebih dari kebanyakan orang;—
atau bisa pula saya tambahkan, tone deaf bisa mengacu pada mereka yang memiliki pengaruh untuk mengendalikan orang lain dengan relasi kuasa yang timpang (pejabat/penyelenggara negara?)
Bagi saya, tone deaf erat kaitannya dengan kritik, dan jika itu terjadi di ruang publik atau di masyarakat maka kritik ini menjadi kritik yang bersifat sosial;Â
kritik sosialnya pun menjadi beragam mulai dari kritik sosial yang menyangkut moral, pendidikan, ekonomi, agama, politik—dan lain sebagainya.
#4
Di X sendiri, tone deaf—bisa saya katakan—dapat mudah diketahui; banyak ragam ketidakpekaan yang tersaji di media sosial ini.
Dengan banyaknya tone deaf yang dapat "diterjemahkan" berarti akan banyak pula menimbulkan masalah-masalah sosial—yang tentu saja tak lepas dari kritik sosial.