Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent |

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Riuh Pilkada: Rakyat dan Akrobat Politik Para Elit

29 Agustus 2024   06:13 Diperbarui: 29 Agustus 2024   09:46 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pramono Anung (kanan) dan Rano Karno (kiri) sebagai Cagub dan Cawagub yang diusung PDI Perjuangan. (Foto oleh Fakhri Fadlurrohman | Sumber Kompas.id)

Aksi kawal putusan MK minggu lalu oleh gabungan elemen masyarakat—yang sebagian besar pada praktiknya di lapangan dimotori oleh mahasiswa di beberapa daerah di Indonesia—memaksa KPU membuat PKPU Pilkada dan telah pula menjadikannya UU.

Aksi kawal putusan MK tersebut terjadi karena adanya constitutional disobedience (pembangkangan terhadap konstitusi) padahal putusan MK bersifat tetap dan final (erga omnes).

Putusan MK ini seharusnya tidak menjadi perdebatan hingga memancing polemik di ranah publik kecuali ada yang mengacaukannya—dan yang membuatnya kacau justru adalah mereka yang telah diberi mandat oleh rakyat sebagai anggota dewan yang terhormat.

Putusan MK dan konstelasi politik

Banyak orang yang bukan pengamat politik (baca: lebih suka mengamati dinamika perpolitikan dari balik layar) merasa berhak mengeluarkan pendapatnya di ranah publik tiap kali pemilu digelar (Pilpres dan Pilkada)—ini adalah bentuk fungsi sosial masyarakat (rakyat) sebagai warga negara;

dan elemen masyarakat yang berdemonstrasi (menggugat demokrasi) di depan gedung DPR baru-baru ini menjadi bukti bagaimana hak bersuara dengan cara lain itu ditampilkan.

Baca juga:

Budaya Malu dan Keterwakilan Rakyat

Demonstrasi rakyat itu pun akhirnya membuat DPR batal mengesahkan RUU Pilkada (untuk dijadikan UU) yang telah sempat disusun sebagai draft sebelumnya (baca: demi menganulir putusan MK).

Gambar burung Garuda dengan latar Biru sebagai simbol perlawanan rakyat dengan label Peringatan Darurat. (Sumber via Kompas.com) 
Gambar burung Garuda dengan latar Biru sebagai simbol perlawanan rakyat dengan label Peringatan Darurat. (Sumber via Kompas.com) 

Hasilnya, tentu saja mengubah konstelasi politik yang ada. 

Pilkada dan yang menjadi sorotan

Riuh Pilkada kali ini sebenarnya—setidaknya—terkonsentrasi pada dua (2) hal yakni mencegah kian mengakarnya praktik politik dinasti di pemerintahan dan; 

bagaimana Pilkada Jakarta menempati urutan pertama sebagai cermin demokrasi kita dalam memilih calon kepala daerah. 

Sebagai buktinya, hampir semua stasiun televisi dan berita-berita di internet beberapa hari terakhir memberi porsi lebih terhadap Pilkada Jakarta ini. 

Baca juga:

Tren Dumb Phone Menggugat Realitas

Meskipun Jakarta kelak bukan menjadi ibu kota negara lagi, tapi tetap saja Jakarta masih menjadi role model. 

Karena Jakarta adalah representasi keseluruhan pemilih di pulau Jawa—dianggap pula masih mewakili representasi Indonesia.

Dengan kata lain, siapa yang menjadi kepala daerah di Jakarta kali ini boleh jadi akan diperhitungkan oleh rakyat (baik kepala daerahnya dan partai pengusungnya) untuk masuk gelanggang kontestasi di pemilihan presiden selanjutnya.

PDIP dan calon yang diusungnya di Jakarta 

Adalah PDI Perjuangan yang mendapat highlight paling terang dari peristiwa yang dilabeli sebagai Peringatan Darurat (baca: dengan burung gambar Garuda berlatar Biru sebagai simbol perlawanan) yang diperjuangkan oleh rakyat beberapa hari lalu—bahkan hingga saat ini masih dikawal mati-matian. 

Melalui putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut, PDIP bisa melenggang mencalonkan orang-orang "pilihan"nya di Jakarta (baca: yang tadinya sempat terhalang threshold karena hanya memperoleh sebanyak 850.174 suara atau 14,01% pada pemilihan legislatif di Jakarta);

meskipun PDIP menjadi satu-satunya partai besar yang dikucilkan oleh semua partai politik yang ada;

dan menyoal Pilkada di Jakarta, PDIP mengusung Pramono Anung sebagai cagub dan Rano Karno sebagai wakilnya.

Ini cukup memantik kontroversi—mungkin seluruh orang yang menaruh perhatiannya pada Pilkada Jakarta kali ini juga akan sependapat.

Baca juga:

Kontrasepsi yang Kontroversi

Bagi saya pribadi, ini sangat mengejutkan. 

PDIP mengusung Pramono Anung bukan Anies Baswedan sebagai calon gubernur untuk bertarung di Jakarta?!

Padahal sudah banyak spekulasi yang oleh publik diartikan bahwa Anies lah yang akan dicalonkan—malah Anies sudah bertandang ke markas PDIP di kawasan Menteng sebelumnya. 

Tapi, ketika hari H pengumuman, teka-teki itu terjawab: bukan Anies tapi Pramono Anung; bukan pula Ahok yang justru pernah jadi petahana di Jakarta. 

PDIP dan duga-duga di masyarakat

Dengan tidak dicalonkannya Anies, membuat pasangan yang diusung oleh koalisi "gemuk" KIM Plus, Ridwan Kamil dan Suswono, berada di atas angin—dan yakin menang (tentu calon independen yang pernah mendaftar dianggap tidak masuk hitungan). 

Padahal menurut kebanyakan pakar politik, cuma Anies yang pantas menjadi lawan yang pas untuk Ridwan Kamil meskipun belum dikatakan sepadan mengingat elektabilitas Anies masih terbilang unggul:

Anies memiliki basis pemilih yang kuat di Jakarta dan cukup berpeluang meraup suara banyak karena faktor kedekatan dari sisi psikologis yang ia bangun selama ini (baca: berkat gaya komunikasi politiknya yang terbilang santun). Itu belum terhitung program-program yang pernah menjadi rekam jejaknya selama ia menjadi gubernur di Jakarta. 

Menyoal PDIP sendiri, banyak alasan mengapa partai banteng moncong putih itu justru mencalonkan Pramono Anung dibandingkan Anies; 

duga-duga—alih-alih dinilai sebagai sentimen negatif—di masyarakat pun liar.

Pramono Anung (kanan) dan Rano Karno (kiri) sebagai Cagub dan Cawagub yang diusung PDI Perjuangan. (Foto oleh Fakhri Fadlurrohman | Sumber Kompas.id)
Pramono Anung (kanan) dan Rano Karno (kiri) sebagai Cagub dan Cawagub yang diusung PDI Perjuangan. (Foto oleh Fakhri Fadlurrohman | Sumber Kompas.id)

Duga-duga itu mulai dari ketersinggungan PDIP terhadap Anies saat Pilkada Jakarta 2017 yang cagubnya kala itu Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, tidak manutnya Anies karena enggan menjadi kader PDIP (ogah menjadi petugas partai?) hingga desas-desus ketidakseriusan PDIP ikut kontestasi pilkada karena munculnya Surat Sakti (sebagai bentuk "barter" kasus Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto);

jika yang terakhir yang menjadi alasan kuat (baca: dengan tidak dicalonkannya Anies) itu artinya arena Pilkada ini masih dipengaruhi oleh politik kekuasaan dan membiarkan rakyat dicurangi karena kontestasi yang akan berlangsung menjadi tidak adil. 

Antiklimaksnya, genaplah kalimat ini:

suara moral bersikap adil, juga kepada yang dimusuhi. Tapi politik kekuasaan menghitung, siapa yang harus disingkirkan.

Rakyat dan akrobat politik para elit

Rakyat Indonesia disamping pemaaf dan cepat lupa, ternyata juga sekumpulan manusia yang berjiwa kuat;

riuh pilkada pada akhirnya hanya membuat rakyat menjadi penonton dari kejauhan sementara para elit politiknya sibuk menunjukkan kepiawaian mereka berakrobat;

riuh pilkada pada akhirnya pula memaksa rakyat BERSEDIA digiring untuk SETUJU pada pilihan elit yang—tiap tahun politik—memohon mandat demi segala kebijakan yang katanya—akan—pro rakyat.

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun