PDIP mengusung Pramono Anung bukan Anies Baswedan sebagai calon gubernur untuk bertarung di Jakarta?!
Padahal sudah banyak spekulasi yang oleh publik diartikan bahwa Anies lah yang akan dicalonkan—malah Anies sudah bertandang ke markas PDIP di kawasan Menteng sebelumnya.Â
Tapi, ketika hari H pengumuman, teka-teki itu terjawab: bukan Anies tapi Pramono Anung; bukan pula Ahok yang justru pernah jadi petahana di Jakarta.Â
PDIP dan duga-duga di masyarakat
Dengan tidak dicalonkannya Anies, membuat pasangan yang diusung oleh koalisi "gemuk" KIM Plus, Ridwan Kamil dan Suswono, berada di atas angin—dan yakin menang (tentu calon independen yang pernah mendaftar dianggap tidak masuk hitungan).Â
Padahal menurut kebanyakan pakar politik, cuma Anies yang pantas menjadi lawan yang pas untuk Ridwan Kamil meskipun belum dikatakan sepadan mengingat elektabilitas Anies masih terbilang unggul:
Anies memiliki basis pemilih yang kuat di Jakarta dan cukup berpeluang meraup suara banyak karena faktor kedekatan dari sisi psikologis yang ia bangun selama ini (baca: berkat gaya komunikasi politiknya yang terbilang santun). Itu belum terhitung program-program yang pernah menjadi rekam jejaknya selama ia menjadi gubernur di Jakarta.Â
Menyoal PDIP sendiri, banyak alasan mengapa partai banteng moncong putih itu justru mencalonkan Pramono Anung dibandingkan Anies;Â
duga-duga—alih-alih dinilai sebagai sentimen negatif—di masyarakat pun liar.
Duga-duga itu mulai dari ketersinggungan PDIP terhadap Anies saat Pilkada Jakarta 2017 yang cagubnya kala itu Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, tidak manutnya Anies karena enggan menjadi kader PDIP (ogah menjadi petugas partai?) hingga desas-desus ketidakseriusan PDIP ikut kontestasi pilkada karena munculnya Surat Sakti (sebagai bentuk "barter" kasus Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto);
jika yang terakhir yang menjadi alasan kuat (baca: dengan tidak dicalonkannya Anies) itu artinya arena Pilkada ini masih dipengaruhi oleh politik kekuasaan dan membiarkan rakyat dicurangi karena kontestasi yang akan berlangsung menjadi tidak adil.Â