Hidup memang selalu berdampingan dengan tanya namun selayaknya pula dipahami dengan cara yang berbeda.Â
***
Ada yang berkata disaat orang yang telah berpulang datang ke dalam mimpi maka ia sedang rindu ingin menyapa.
Tapi, ada pula yang berkata jika yang ditinggalkan tidak pernah didatangi mereka yang lebih dulu pergi, itu berarti yang ditinggalkan tidak terlalu sayang.
Konyol, bagaimana mungkin saya tidak menyayangi orang tua saya, pikir saya, meskipun mungkin rasa sayang saya memiliki paralelnya sendiri.
Bagaimana mungkin saya tidak menyayangi ibu saya yang suka diam-diam mengunjungi kamar saya untuk mengusap kening saya lalu menciumnya meski saya akui ibu itu cerewetnya setengah mati?;
bagaimana mungkin saya tidak menyayangi bapak saya yang suka diam-diam menyelimuti saya saat saya setengah sadar tertidur—atau menawarkan saya sarapan bila saya kebetulan sibuk dikejar deadline tulisan—meski ia sosok yang keras kepala dan mudah marah?
Baca juga: Catatan Ringan Perjalanan Proses Menulis: Seni Memahami Kehidupan yang DinamisÂ
Mereka tidak sering datang ke dalam mimpi saya, bukan karena saya tidak sayang—alih-alih tidak pernah merasakan kehilangan sejak kepergian mereka.Â
Tidak juga karena sejak menghayati lagu ini saya baru memahami apa itu kehilangan;Â
Seperti penggalan lirik lagunya, adakalanya saya memang menangis. Tapi, bukan penyesalan karena belum menjadi anak yang baik buat mereka apalagi sampai berani mendebat Tuhan mengapa mereka pergi disaat saya belum jadi apa-apa sesuai yang mereka mau.
Bukan karena itu.