Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kontrasepsi yang Kontroversi

7 Agustus 2024   06:20 Diperbarui: 7 Agustus 2024   17:12 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi edukasi kesehatan seksual. (Foto oleh Cottonbro Studio | Sumber Pexels.com)

Saya masih berkeyakinan, harapan Indonesia Emas 2045 bisa tercapai—dan itu bisa dimulai dengan hal-hal sederhana saja seperti bersedia memberi ruang pada diri kita untuk diliterasi.

Langkah awalnya, mulailah dengan membaca apapun dengan teliti. Ketelitian akan membuat seseorang mengerti apa yang dibacanya. Setelah mengerti MAKA barulah ia masuk ke tahap memahami—karena tentu saja di tahap ini critical thinking yang berperan.

***

Sejak kegaduhannya mencuat di masyarakat menyoal penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja yang diteken Presiden Jokowi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, saya langsung mengira pasti ada yang tidak beres makanya gaduh—dan benar saja, memang ada yang tidak beres;

dan terjadi lagi—seperti yang sudah-sudah—pemerintah mengklarifikasi kebijakannya.

***

Seorang Profesor pada sebuah reels Instagram pernah mengatakan, orang-orang Indonesia belum menjadikan membaca sebagai paradigma kultural dan saya sepakat akan hal itu;

dan jika membenturkannya pada aturan menyoal kontrasepsi tadi, maka seharusnya pemerintah tak perlu repot-repot klarifikasi—

meski dengan jujur saya katakan pula bahwa kebijakan pemerintah mengenai hal tersebut juga tidak sepenuhnya bisa diterima, terutama saya secara pribadi.

***

Untuk menjawabnya, saya sengaja bertandang ke website Kementerian Kesehatan dan pula sengaja mengunduh 656 halaman salinan PP yang dimaksud tersebut untuk memastikan sendiri bahwa saya benar-benar membaca kata per kata pada pasal yang memantik perbincangan. 

Salinan Pasal 103 PP Nomor 28 2024 (Sumber Website Kementerian Kesehatan) 
Salinan Pasal 103 PP Nomor 28 2024 (Sumber Website Kementerian Kesehatan) 

Wajar saja menimbulkan gaduh karena memang terkesan ambigu, pikir saya. 

Pasal 103 memang ditujukan untuk mereka (anak-anak) yang berusia sekolah dan remaja.

Sejauh 3 ayat—bahkan nyaris 4 tanpa butir e—dari pasal tersebut, saya masih bisa sepakat bersama pemerintah (baca: memiliki tujuan mulia) meski dengan catatan harus didampingi tenaga ahli yang memiliki kompetensi di bidangnya dalam penyampaiannya.

Tapi, terkait penyediaan alat kontrasepsi? Anak usia sekolah dan remaja difasilitasi? 

Baca juga: Dari Daycare, Orang Tua Pekerja dan Masalah Sistemik di Dalamnya

Lagipula, subyek usia sekolah dan remaja yang dimaksud pemerintah bagi saya sendiri tampaknya beda pemahamannya.

Mereka yang dikatakan usia sekolah boleh jadi adalah pelajar usia sekolah; 

tapi remaja yang dimaksud pemerintah dalam pasal tersebut belum tentu mengenyam pendidikan di sekolah saat pp ini ditandatangani?

Bisa jadi pernah sekolah tapi berhenti atau tidak pernah sekolah sama sekali?;

atau apakah mereka benar-benar ambil peduli dengan isu ini? 

***

Polemik kontrasepsi yang menuai kontroversi ini mendapat sorotan di masyarakat lantaran dimaknai sebagai LEGITIMASI pemerintah akan budaya pergaulan bebas di kalangan remaja—khususnya ditujukan bagi yang masih duduk di bangku usia sekolah. 

Alasannya sederhana nan klasik, pergaulan semacam itu (seks bebas) bukan budaya Indonesia dan bertentangan pula dengan norma agama.

Jika saya ditanya, saya lebih mengedepankan BAHAYA (seks bebas) setelahnya dibandingkan ikut mendebat MORALITAS mengapa itu tidak boleh dilakukan. 

Semua orang tahu bahwa seks bebas itu dilarang karena dianggap melanggar norma agama dan norma di masyarakat. Tapi, tak semua tahu bahaya apa yang mengintai dari perbuatan tersebut. 

Kembali ke poin yang menimbulkan syak (wasangka), sebenarnya siapa yang menjadi sasaran "tembak" pemerintah menyoal kontrasepsi tersebut?;

dan setelah bikin gaduh, pemerintah pun menjawab—dan berdalih—jika turunan terakhir ayat 4 itu ditujukan untuk mereka (remaja/anak) yang sudah terikat pernikahan dini (pernikahan anak?) yang bertujuan untuk mencegah kehamilan di usia rentan (baca: jika mengacu untuk kebaikan ibu adalah sebelum 19 tahun) demi menekan angka kematian ibu dan mencegah stunting. 

Baca juga: Cegah Stunting: Praktikkan Diet Gula pada Anak Balita 

Saya langsung berpikir, jika memang ditujukan untuk mereka yang sudah menikah dini, maka butir terakhir itu (butir e) SEHARUSNYA tidak dimasukkan dalam pasal 103 tersebut—seharusnya ia dimuat di pasal yang berbeda.

Karena jika ia telah dimuat di pasal yang berbeda, maka kegaduhan ini seharusnya tidak perlu ada.

***

Klarifikasi pemerintah yang berdalih penyediaan alat kontrasepsi ditujukan untuk remaja yang sudah terikat pernikahan (meski di bawah umur) rasa-rasanya lebih menggelikan lagi bagi saya.

Bukan apa-apa, karena bisa saja pernikahan di usia dini terjadi karena mungkin mereka sudah terlanjur mempraktikkan pergaulan bebas tadi;

atau mengikuti tradisi adat istiadat dari budaya mereka (kita tahu bersama, di beberapa daerah pernikahan anak di usia dini masih kerap terjadi). 

Jika MEMANG tujuan penyediaan alat kontrasepsi yang digadang-gadang pemerintah melalui butir e pada ayat 4 pasal 103 tersebut bertujuan untuk mencegah kehamilan di usia rentan (sebelum 19 tahun) demi menekan angka kematian ibu dan mencegah stunting, pertanyaannya:

apakah pemerintah siap dengan alokasi anggarannya (baca: menyediakan alat kontrasepsi) selama rentang waktu usia mereka (yang terlanjur terikat pernikahan dini) sebelum mereka dikatakan layak (mencapai 19 tahun)?

Sebenarnya tidak ada juga yang bisa menjamin bahwa mereka yang terlanjur menikah di usia dini ini tidak melakukan aktivitas seksual tanpa menyebabkan kehamilan. 

***

Alih-alih menyediakan alat kontrasepsi, mengapa tidak dicari saja akar masalahnya: 

mengapa mereka (anak remaja) bisa berpikir menikah dini? 

Kurang edukasi mengenai reproduksi (berikut bahaya apa saja yang terkait padanya)? 

Jika demikian, mengapa tidak diagendakan secara rutin saja penyuluhan-penyuluhan kesehatan reproduksi—meskipun solusi yang bersifat persuasif ini tidak langsung menunjukkan hasil dalam jangka waktu pendek. 

Karena mereka tidak lagi sekolah? 

Jika demikian, mengapa mereka tidak difasilitasi saja kursus-kursus singkat keahlian yang pada akhirnya membuat mereka sibuk berkegiatan dan menjadi cikal mereka bekerja? 

Baca juga: Batas Usia Kerja dan 2 Hal Mengapa Selayaknya Dihapuskan Saja 

Karena dipaksa tradisi?

Jika demikian, mengapa kerabat atau keluarga mereka tidak "diancam" saja menggunakan undang-undang yang sudah ada? 

Bukankah negara bisa bersifat "memaksa" jika memang ada urgensinya? 

Tekankan bahwa "pemaksaan" pernikahan terhadap anak jelas melanggar hukum dan negara berhak untuk mengintervensi. 

Saya tidak bermaksud untuk memberikan solusi yang bersifat tanpa diminta (unsolicited advice) menyoal ini, hanya saja jika dinilai sebagai bentuk langkah pencegahan, maka saya anggap itu perlu. 

***

Hingga akhirnya, yang ingin saya katakan adalah niat mulia juga akan menjadi salah jika dalam penerapannya dilakukan secara terburu-buru seperti yang pemerintah lakukan, 

karena belajar untuk membaca dan membaca untuk belajar adalah dua hal yang berbeda. 

Sebelum menimbulkan miskonsepsi literasi yang jauh lebih luas lagi, seyogyanya pemerintah mengkritisi lagi kebijakannya tersebut dan pula kembali merevisinya.

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun