Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent |

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Batas Usia Kerja dan 2 Hal Mengapa Selayaknya Dihapuskan Saja

6 Agustus 2024   06:15 Diperbarui: 7 Agustus 2024   03:24 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang pencari kerja yang berdiri di stan salah satu perusahan pada event job fair. (Foto oleh Firman Taufiqurrahman; Sumber Kompas.com)

Usia kian melaju, lapangan kerja terbatas, sementara kebutuhan hidup tidak bisa ditawar, jadilah mereka yang berusia 25 tahun ke atas ini dipaksa untuk memiliki daya tahan dan daya juang melebihi para pencari kerja yang—masih—masuk kategori kriteria;

namun, meskipun demikian, mereka tetap tekun menebar amplop cokelat lebih banyak—lagi dan lagi—sembari berharap para pemberi kerja mendapat "pencerahan" untuk sekadar mempertimbangkan mereka lolos ke tahap wawancara alias tidak gugur di medan (berkas) administrasi awal.

Baca juga: Nego Gaji Bukan Cuma Soal Hitung-hitungan Melainkan Tantangan

Jikapun pada akhirnya mereka "kalah" setidaknya mereka sudah pantang menyerah; jikapun pada akhirnya pekerjaan yang akan mereka lakoni tidak sesuai harapan (baik ditilik dari latar belakang pendidikan atau pendapatan yang akan dihasilkan) setidaknya mereka sudah mencoba menerobos dinding tebal: batas usia kerja. 

***

Menyoal gugatan batas usia kerja (yang dinilai oleh para pencari kerja sebagai hal yang justru mempersulit mereka dalam mendapatkan pekerjaan) yang putusannya sudah final, sebenarnya ada 2 hal yang menurut saya ini memang (batas usia kerja) selayaknya dihapuskan.

#1 Menyukai ritme yang "jelas" dan teratur 

Ya, adanya jam kerja dan rincian kerja yang menjadi tugas (job desk) menjadikan seseorang memiliki ritme yang jelas dan teratur, sekalipun sejak awal mungkin jam kerjanya diterapkan dengan pola shifting. 

Selama itu masih 40 jam per minggu, selama lembur masih dibayar, mendapat hak libur, atau apa-apa saja yang masih bisa ditolerir, maka rasa-rasanya para pekerja ini masih bisa diajak "berdamai";

meskipun tentu masih selalu saja ada para pemberi kerja yang menyalahi aturan. 

Atau boleh dengan tegas saya katakan pada poin ini, menjadi pekerja, seseorang setidaknya mendapatkan kepastian pendapatan, terlepas itu bisa dikatakan mencukupi atau tidak. 

Karena jelas sudah, seseorang bekerja—khususnya untuk middle lower class (kelas menengah ke bawah)—BUKAN semata-mata untuk kaya melainkan pemenuhan kebutuhan dasar hidup terlebih dahulu. 

Apakah ritme yang jelas dalam "bingkai" keteraturan itu salah? 

#2 Ingin mengaplikasi disiplin ilmu yang diambil

Tiap tahun selalu ada lulusan-lulusan baru (anak sekolah SMA/SMK atau sederajat); pun sarjana-sarjana baru dari tiap jurusan yang akan membuat persaingan di antara para angkatan kerja kian sengit. 

Baca juga: Puan di Antara Flexing Gaji dan Jabatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun