Usia kian melaju, lapangan kerja terbatas, sementara kebutuhan hidup tidak bisa ditawar, jadilah mereka yang berusia 25 tahun ke atas ini dipaksa untuk memiliki daya tahan dan daya juang melebihi para pencari kerja yang—masih—masuk kategori kriteria;
namun, meskipun demikian, mereka tetap tekun menebar amplop cokelat lebih banyak—lagi dan lagi—sembari berharap para pemberi kerja mendapat "pencerahan" untuk sekadar mempertimbangkan mereka lolos ke tahap wawancara alias tidak gugur di medan (berkas) administrasi awal.
Baca juga: Nego Gaji Bukan Cuma Soal Hitung-hitungan Melainkan Tantangan
Jikapun pada akhirnya mereka "kalah" setidaknya mereka sudah pantang menyerah; jikapun pada akhirnya pekerjaan yang akan mereka lakoni tidak sesuai harapan (baik ditilik dari latar belakang pendidikan atau pendapatan yang akan dihasilkan) setidaknya mereka sudah mencoba menerobos dinding tebal: batas usia kerja.Â
***
Menyoal gugatan batas usia kerja (yang dinilai oleh para pencari kerja sebagai hal yang justru mempersulit mereka dalam mendapatkan pekerjaan) yang putusannya sudah final, sebenarnya ada 2 hal yang menurut saya ini memang (batas usia kerja) selayaknya dihapuskan.
#1 Menyukai ritme yang "jelas" dan teraturÂ
Ya, adanya jam kerja dan rincian kerja yang menjadi tugas (job desk) menjadikan seseorang memiliki ritme yang jelas dan teratur, sekalipun sejak awal mungkin jam kerjanya diterapkan dengan pola shifting.Â
Selama itu masih 40 jam per minggu, selama lembur masih dibayar, mendapat hak libur, atau apa-apa saja yang masih bisa ditolerir, maka rasa-rasanya para pekerja ini masih bisa diajak "berdamai";
meskipun tentu masih selalu saja ada para pemberi kerja yang menyalahi aturan.Â
Atau boleh dengan tegas saya katakan pada poin ini, menjadi pekerja, seseorang setidaknya mendapatkan kepastian pendapatan, terlepas itu bisa dikatakan mencukupi atau tidak.
#2 Ingin mengaplikasi disiplin ilmu yang diambil
Tiap tahun selalu ada lulusan-lulusan baru (anak sekolah SMA/SMK atau sederajat); pun sarjana-sarjana baru dari tiap jurusan yang akan membuat persaingan di antara para angkatan kerja kian sengit.Â
Baca juga: Puan di Antara Flexing Gaji dan Jabatan
Persaingan sengit dimulai dari menebar amplop cokelat: di mana ada perusahaan yang baru buka dan tengah mencari kandidat maka di sanalah mereka berada.Â
Tengoklah pula saban kali ada pameran job fair, mereka layaknya seperti rombongan semut yang pada gula mereka terpikat.
Di sinilah poin kedua berbicara: tak semua para pencari kerja ingin memiliki usaha; tak semua dari mereka mau berwirausaha atau menjadi pengusaha.