Persaingan sengit dimulai dari menebar amplop cokelat: di mana ada perusahaan yang baru buka dan tengah mencari kandidat maka di sanalah mereka berada.Â
Tengoklah pula saban kali ada pameran job fair, mereka layaknya seperti rombongan semut yang pada gula mereka terpikat.
Di sinilah poin kedua berbicara: tak semua para pencari kerja ingin memiliki usaha; tak semua dari mereka mau berwirausaha atau menjadi pengusaha.
Ini tak semata-mata hanya perkara modal, tak pula semata-mata perihal karena "tak semua orang berani ambil risiko".
Boleh jadi para pencari kerja ini mencintai apa yang ia kuasai yang menjadi keahliannya; ingin menerapkan disiplin ilmu yang diambilnya (selama menempuh pendidikan akademik).
Apakah ini juga salah?Â
Bukankah di "tangan" orang yang cakap dan ahli di bidangnya suatu pekerjaan akan ditangani dengan baik dan akan memberikan kontribusi yang baik pula bagi si pemberi kerja?Â
Sebaliknya, jika semua orang berwirausaha, jika semua orang menjadi pengusaha, lantas siapa yang menjadi pekerja bagi mereka dan ke mana pula orang-orang yang ahli di bidangnya itu harus dicari?Â
***
Untuk dilirik para HR atau pemberi kerja maka lulus lah tepat waktu: selesaikan sks yang diambil atau tekunlah dalam belajar, hadapi dan temui pembimbing bagaimana pun caranya, kurangi tertawa—fokus.Â
Bukan apa-apa karena batas usia kerja—sekali lagi—nyata adanya.Â
***
Namun, ada satu pertanyaan menggelitik buat saya, jika putusan menyoal batas usia kerja dinilai bukan termasuk diskriminasi, apakah mereka yang berusia 25 tahun ke atas yang dipersempit upayanya mencari kerja BUKAN termasuk diskriminasi?
Ini sebenarnya bagi saya tak lebih hanya sekadar membenturkan para pencari kerja dengan para pemilik modal—namun sebagai jawabannya, kita tahu siapa yang "kalah".Â