Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Cegah Stunting: Praktikkan Diet Gula pada Anak Balita

1 Agustus 2024   06:15 Diperbarui: 2 Agustus 2024   08:44 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemberian buah dan makanan yang mengandung tinggi gula. (Foto oleh Andres Ayrton | Sumber: Pexel) 

Kebijakan pembatasan gula (dan juga garam) oleh pemerintah menjadi angin segar. Ini diambil bukan saja untuk menekan anggaran (yang tampaknya memang tidak sedikit dialokasikan pada bidang kesehatan) namun juga berbanding lurus untuk kesehatan masyarakat Indonesia itu sendiri.

Mengapa tidak dari dulu, pikir saya.

Mengapa Indonesia selalu kalah langkah dibandingkan tetangga sebelah negara, Singapura?

Karena kita tahu, tidak semua masyarakat mendapatkan literasi yang berimbang menyoal kandungan gula (beserta turunannya) beserta cara mengonsumsinya yang tepat guna, terutama kalangan menengah ke bawah. Sehingga dibutuhkan langkah konkret yang cepat sebagai bentuk antisipasi. 

Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Balita Indonesia darurat gula

Jangan senang dulu jika melihat seorang anak balita bertubuh gendut. Bisa jadi itu bukan otot melainkan lemak—lemak di tubuh ada, karena konsumsi gula yang tidak semestinya. Apalagi olahraga belum menjadi prioritas bagi para orang tua (bahkan rasa-rasanya mustahil—kalaupun ada namun sedikit sekali) untuk diterapkan pada anak-anak khususnya balita. 

Perkembangan zaman yang tidak mungkin ditolak membuat makanan dan minuman di pasaran pun tidak mungkin bisa dihindari sepenuhnya. Maka sudah barang tentu orang tua lah yang mengambil peran utama untuk anak balitanya.

Pertanyaannya: mengapa masih banyak para orang tua yang membiarkan dengan sembrono anak balitanya mengonsumsi gula berlebih dan sembarangan?

Baca juga: Hari Anak Nasional 2024: Sebuah Catatan Pendek Pengalaman dan Harapan untuk Setiap Anak Indonesia

Karena sayang anak?

Banyak  memang orang tua yang mempertaruhkan kesehatan anaknya dengan memberikan makanan dan minuman yang mengandung tinggi gula hanya dengan alasan sayang anak. Sungguh ironi. 

Ketidaktahuan orang tua?

Padahal informasi dewasa ini sudah lebih mudah untuk didapat. Jika membaca buku kesehatan yang tebal tidak begitu sanggup, informasi melalui internet bisa jadi pilihan. Tinggal pilih saja rujukan mana yang paling mendekati tepat dan masuk akal.

Jika ingin lebih valid lagi, para orang tua bisa mengunjungi fasilitas kesehatan terdekat, konsultasi langsung dengan dokter atau tenaga kesehatan lain seperti ahli gizi—bukankah posyandu bisa juga jadi opsi?

Sebagai orang tua kita jangan malas mencari tahu; menjadi orang tua jangan malu sekadar bertanya.

Diet gula dan stunting

Jika mengacu pada rekomendasi American Heart Association (AHA)—seperti yang diungkapkan Miriam. B Vost, MD MSPH, ilmuwan nutrisi dan profesor pedeatri di Emory University School of medicine—anak-anak dari mulai usia 2 tahun hingga 18 tahun tidak disarankan mengonsumsi gula melebihi 6 sendok teh tambahan perhari (atau setara 25 gram).

Rekomendasi ini ditetapkan karena konsumsi gula berlebih bisa menjadi penyebab utama kurangnya penyerapan nutrisi, terutama pada anak usia balita.

Contoh penerapan diet gula ketat pada anak ini juga saya alami sendiri; saya mengenal seorang ibu yang begitu peduli terhadap konsumsi gula anak balitanya. Anak balitanya itu berusia tiga tahun. 

Ilmu parenting soal pengasuhan anak ternyata terkadang bisa didapat dengan percuma. Tergantung kita peka atau tidak. 

Perlu diketahui, gula tidak hanya glukosa seperti gula pasir yang sering dikonsumsi sehari-hari melainkan ada beberapa pula turunannya seperti fruktosa atau sukrosa. Turunannya ini yang perlu dicermati. 

Ilustrasi dua anak balita sehat. (Foto oleh PixaBay | Sumber: Pexel) 
Ilustrasi dua anak balita sehat. (Foto oleh PixaBay | Sumber: Pexel) 

***

Mengapa saya katakan sebagai angin segar di awal, karena jika ini benar-benar diterapkan dengan "tegas" di lapangan (seperti yang berlaku di Singapura)—pada setiap makanan dan minuman yang dijual bebas di pasaran maka pencegahan stunting pun bisa terwujud.

Seperti diketahui, percepatan penurunan angka stunting pada anak balita merupakan agenda utama pemerintah Indonesia demi terwujudnya generasi sehat, cerdas dan produktif di masa mendatang—serta pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).

Maka dari itu pembatasan konsumsi gula pada anak (khususnya balita) dari produk olahan makanan dan minuman dirasa perlu—dan harus!

Pencegahan stunting tadi bisa dimulai dengan pemberian makanan dan minuman yang bergizi sebagai preferensi. Tidak perlu yang mahal atau dalam porsi besar.

Kita bisa belajar dari Jepang, tentang bagaimana masyarakatnya mengajarkan sejak dini pada anak-anak mereka untuk menyantap lebih banyak sayur-sayuran dan lebih sering mengonsumsi protein seperti ikan. 

Di Jepang, makanan berbentuk salad dan jus buah segar dengan mudah ditemui, tak hanya di supermarket—bahkan juga di kombini (minimarket) dekat rumah.

Ya, tak sulit menemukan keduanya di rak-rak etalase pendingin di Jepang.

Baca juga: Hikikomori di Jepang: Ternyata Tidak Memiliki Anak Tidak Selalu Buruk

Mungkin tidak mudah jika anak-anak kita sudah terlanjur "akrab" mengonsumsi gula. Tetapi, kontrol seorang anak  tetap terletak pada orang tuanya. Bukan tidak boleh memberikan kudapan atau minuman manis—hanya harus dibatasi. 

Di sisi lain, sebagai orang tua pun kita dituntut untuk perlu terus melatih menjadi lebih bertanggung jawab terhadap anak-anak kita dengan mengedukasi diri sendiri: cari lebih banyak referensi dan rekomendasi. Rajin-rajin pula membaca tabel nilai gizi yang terdapat pada kemasan makanan dan minuman olahan. Itu bukan hiasan! 

Sekali lagi, menjadi orang tua jangan malas mencari tahu; jangan malu pula untuk bertanya.

Sejatinya, anak balita tidak tahu apa-apa; apa yang ia santap adalah apa yang diberikan oleh orang tuanya. Ia bukan manusia dewasa yang bisa tahu dan memilih mana yang boleh mana yang tidak. 

Kesehatan anak kita bergantung pada kita; kita tidak bisa menyerahkannya pada orang lain.

Karena masa depan sebuah negara bisa dilihat dari peran langsung orang tua saat memberikan asupan nutrisi pada anaknya—dan itu bisa dilihat dari makanan dan minuman apa yang dikonsumsinya hari ini.

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun