Memang, tidak sedikit yang sudah menjadi "pelaku" namun lebih banyak yang akan "terintimidasi" karenanya  (dianggap melawan koridor yang sudah "seharusnya" yang jamak ada di masyarakat).Â
Dan ini yang masih luput dari klinik kecantikan untuk dikerjakan. Ini yang saya katakan dengan klinik kecantikan (masih) melawan stigma. Padahal seseorang mengunjungi klinik kecantikan tak melulu menyoal memperbaiki struktur wajah namun bisa juga yang lainnya (berhubungan dengan tubuh).Â
Seharusnya branding mereka tidak hanya lebih menyasar perempuan saja; jika mereka mampu membuat branding menyasar laki-laki juga (dengan mengajak lebih banyak laki-laki dari semua kalangan) maka itu yang dinamakan fair.Â
Itu pun jika semua klinik kecantikan memilih sepakat melakukannya: ubah istilah "kecantikan" itu!
***
Apapun alasan di balik seseorang (baik laki-laki atau perempuan) mengunjungi klinik kecantikan beserta treatment yang diambilnya dan bagaimana caranya menyikapi stigma yang akan muncul setelahnya, semoga validasi perasaan mencintai diri sendiri lah yang lebih besar dan utama.Â
Dan untuk klinik kecantikan yang bisa saya katakan adalah:
trust tidak cuma bisa dibangun dengan iklan namun juga dengan performa yang konsisten
Sehingga pada akhirnya marketing yang paling ampuh adalah testimoni asli para pasien dari klinik kecantikan itu sendiri bukan endorsement titipan dengan bayaran sejumlah uang.Â
Tabik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H