selebgram Ella Nanda Sari (ENS) asal Medan setelah menjalani operasi sedot lemak di WSJ Klinik, salah satu klinik kecantikan di Depok yang terjadi 22 Juli 2024 lalu, cukup menyita perhatian.Â
Berita meninggalnyaDiketahui, pihak keluarga Ella masih berusaha mencari tahu apa penyebab Ella meninggal dan saat ini polisi pun masih tengah berupaya mengusut kasus tersebut.Â
Keluarga Ella menduga ada unsur malapraktik yang dilakukan pada Ella meskipun dari pihak WSJ Klinik sendiri membantah dengan mengatakan operasi yang dijalankan sudah sesuai prosedur.
***
Jamur di Permukaan Lembab
Beberapa tahun belakangan, klinik kecantikan memang menjamur, terutama di kota-kota besar—bahkan sudah tidak sedikit yang merambah hingga ke kota setingkat kabupaten. Ini mengindikasikan peminatnya memang banyak.
Di saat rangkaian skincare dinilai belum mampu menjawab kebutuhan secara instan para penggunanya maka tindakan di klinik kecantikan bisa menjadi opsi lain; klinik kecantikan sekarang bak magnet.Â
Treatment yang ditawarkan di klinik kecantikan beragam, dari yang ringan seperti facial (yang juga kerap bisa dilakukan di salon) hingga yang memerlukan penanganan dokter spesialis kecantikan seperti operasi sedot lemak. Harganya pun bervariasi tergantung treatment yang dilakukan (yang diinginkan pasien).
Di negeri kita sendiri, seperti diketahui bersama, yang mendatangi klinik kecantikan didominasi oleh perempuan.
Mereka datang dari berbagai kalangan, mulai dari ibu-ibu pejabat, wanita karir hingga mereka yang masih berstatus pelajar akademik.Â
Klinik kecantikan namanya atau kita kenal sebagai beauty clinic dalam bahasa Inggris.
Namun, ada yang menarik, mengapa dia disebut klinik kecantikan?Â
Dari namanya saja, bagi saya, sudah memantik kesan aneh.Â
Mengapa tidak klinik "estetika tubuh" sebagai gantinya (karena memang tindakan yang dilakukan tidak hanya menyasar pada wajah namun bagian tubuh yang lainnya juga)?
Mengapa tidak demikian disebut secara gamblang—alih-alih klinik kecantikan?
Menurut salah satu penerjemahan KBBI sendiri kata cantik adalah elok, molek (tentang wajah perempuan) sehingga mengacu hal itu seharusnya "hanya" perempuan saja yang boleh mendatanginya sementara laki-laki tidak.Â
Jika demikian, jika laki-laki tidak boleh, maka oppa-oppa (atau laki-laki yang pernah atau kerap ke sana) seharusnya menjadi paradoks.Â
Ya, Oppa-oppa manis yang menciptakan fenomena: menghentak khalayak: Korea menjadi representasi nyata bagaimana klinik kecantikan beserta prosedurnya bekerja. Di sana, tidak hanya artis-artis yang sering berkunjung, namun hingga ke kalangan biasa.Â
Di negara kita, klinik kecantikan tidak menyasar laki-laki sebagai targetnya. Klinik kecantikan tidak seperti barber shop yang ramah terhadap laki-laki. Di sini,
klinik kecantikan bukan mainan para laki-laki; sejak awal klinik kecantikan memang ditujukan untuk perempuan.
Menyoal klinik kecantikan sendiri maka dengan berat hati saya katakan, klinik kecantikan menjamur karena—memang—memanfaatkan rasa tidak percaya diri calon pasiennya (terutama perempuan).Â
Pergeseran Nilai di Masyarakat
Standar kecantikan yang bergeser yang menyebabkannya demikian.Â
Cantik itu harus putih, glowing, tanpa jerawat, no flek, hidung mancung, tidak bergelambir, payudara besar, dan lain sebagainya.
Saya kerap melihat iklan-iklan seperti ini berseliweran di laman-laman media sosial atau di portal-portal internet; tentang bagaimana mereka membangun ketidakpercayaan diri orang-orang.Â
Standar kata "cantik" (alih-alih kita menyebutnya dengan rupawan agar laki-laki dan perempuan berdiri sejajar) yang bergeser dan menjamurnya klinik kecantikan, menciptakan lebih banyak tuntutan—lagi dan lagi. Hari ini suntik putih, besok botox, lusa sulam bibir dan lain sebagainya.
Atau memang sepertinya kita harus sepakat bahwa tuntutan itulah yang jadi awal yang menyebabkan orang-orang mengunjungi klinik kecantikan?
Dikatakan demikian, karena "tuntutan" ini dilakukan untuk memperoleh validasi di masyarakat—namun hal itu terkadang tak jarang berbanding terbalik bagi sebagian dari para pelakunya: meng-invalidasi dirinya sendiri.Â
Sering bukan kita mendengar istilah "tuntutan pekerjaan" yang diucapkan para artis (atau orang-orang yang pekerjaannya bersinggungan langsung ke layanan publik) ketika mereka ketahuan akan atau telah menggunakan jasa treatment dari sebuah klinik kecantikan? Tengoklah sorotan atas Mahalini dan pasangannya, Rizky Febian.Â
Tentu saja ini menyiratkan bahwasanya seseorang dianggap harus tampak good looking agar—lebih—diterima dan dikenal di masyarakat luas, alih-alih hanya berpenampilan alami dan rapi seperti orang-orang zaman dulu.Â
Upaya Melawan Sigma
Tuntutan "dijawab" namun setelahnya muncul lah stigma. Para pelakunya dinyinyiri, dianggap kurang bersyukur terhadap pemberian Tuhan (wajah dan tubuh) alih-alih malah dianggap bodoh karena buang-buang duit.
Bagi kaum laki-laki melawan stigma ini lebih sulit lagi. Meski istilah sebagai laki-laki metroseksual sudah kian jamak orang tahu tapi tetap saja tak semua laki-laki berani berhadapan dengannya, alih-alih dituduh sebagai lelaki pesolek.Â
Oleh karena kata "kecantikan" tadilah tidak semua laki-laki siap berani mendatangi klinik kecantikan; tidak semua laki-laki siap melawan stigma.Â
Wejangan laki-laki harus macho, laki-laki tidak boleh terlihat seperti perempuan yang menyebabkannya.Â
Jika ketahuan printilan "cantik" ada barang satu saja oleh orang-orang (apalagi bagi mereka yang memiliki pikiran konservatif) maka bisa dituduh macam-macam, menyebar luas dari mulut ke mulut—bahkan boleh jadi antiklimaksnya bisa dipertanyakan orientasi seksualnya.Â
Sehingga bagi laki-laki lebih baik tidak memakai pelembab wajah sekalipun wajah sudah kering kerontang, tidak perlu memakai lipbalm meski bibir sudah pecah-pecah (karena kombinasi cuaca terik dan ruangan ber-ac?), tidak pakai sunscreen meski wajah sudah terlihat gelap karena pigmen melatonin, dan lain sebagainya. Ya, bagi laki-laki itu lebih baik. Boro-boro rajin mengunjungi klinik kecantikan.Â
Karena klinik kecantikan bagi laki-laki tak ubahnya rokok bagi perempuan.
Memang, tidak sedikit yang sudah menjadi "pelaku" namun lebih banyak yang akan "terintimidasi" karenanya  (dianggap melawan koridor yang sudah "seharusnya" yang jamak ada di masyarakat).Â
Dan ini yang masih luput dari klinik kecantikan untuk dikerjakan. Ini yang saya katakan dengan klinik kecantikan (masih) melawan stigma. Padahal seseorang mengunjungi klinik kecantikan tak melulu menyoal memperbaiki struktur wajah namun bisa juga yang lainnya (berhubungan dengan tubuh).Â
Seharusnya branding mereka tidak hanya lebih menyasar perempuan saja; jika mereka mampu membuat branding menyasar laki-laki juga (dengan mengajak lebih banyak laki-laki dari semua kalangan) maka itu yang dinamakan fair.Â
Itu pun jika semua klinik kecantikan memilih sepakat melakukannya: ubah istilah "kecantikan" itu!
***
Apapun alasan di balik seseorang (baik laki-laki atau perempuan) mengunjungi klinik kecantikan beserta treatment yang diambilnya dan bagaimana caranya menyikapi stigma yang akan muncul setelahnya, semoga validasi perasaan mencintai diri sendiri lah yang lebih besar dan utama.Â
Dan untuk klinik kecantikan yang bisa saya katakan adalah:
trust tidak cuma bisa dibangun dengan iklan namun juga dengan performa yang konsisten
Sehingga pada akhirnya marketing yang paling ampuh adalah testimoni asli para pasien dari klinik kecantikan itu sendiri bukan endorsement titipan dengan bayaran sejumlah uang.Â
Tabik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H