Kamera yang dijual di pasaran sendiri teknologinya mengikuti perkembangan zaman. Boleh dikatakan kamera "standar" untuk serius menjadi seorang fotografer profesional cukup menguras kantong, itu belum terhitung biaya beli lensa tambahan—dan lain sebagainya. Lensa kamera sendiri bermacam-macam.
Sebagai contoh untuk menjadi seorang wedding photographer, di lapangan—selain lensa bawaan kamera (lensa kit)— setidaknya fotografer membutuhkan beberapa lensa penunjang yang memiliki focal lenght yang dapat menghasilkan foto full frame dengan sudut pandang berkualitas baik, misalnya, lensa dengan panjang focal lenght 50mm (hampir seluruh fotografer wedding sepakat lensa jenis ini wajib dipunya).Â
Untuk ruang sempit, lensa wide angle 35mm bisa jadi andalan. Membidik dari jauh agar tidak banyak menimbulkan noise (bintik hitam pada foto yang diakibatkan karena jarak fotografer dan obyek yang difoto terlalu jauh), lensa 70-200mm bisa pula jadi pilihan. Semua tergantung kebutuhan, semua tergantung uang.
Ada pula printilan lain pendukung seperti lampu yang dipasang di body kamera, payung reflektor, tripod dan lain sebagainya. Â
Baca: Every Picture Tells Story dan Ini 5 Alasan yang Membuat Saya Mencintai Fotografi
Baca: 5 Hal yang Harus Dipikirkan Para Puan Saat Melakukan Street Photography Sendirian
2. Jam Terbang dan Segala Sesuatu yang Mungkin Tak Terkatakan
Percayalah, seorang fotografer sudah tahu berapa jasa sewa dirinya di hadapan calon klien.Â
Seorang fotografer yang bijaksana cukup tahu diri dalam menetapkan harga.
Fotografer yang tahu kualitas dirinya tidak akan pitching yang berlebihan. Bukan gengsi atau takut mengobral-abrik harga pasar, tapi ini semata-mata menyoal jam terbang—yang dua tahun terjun dan yang bertahun-tahun serius bergelut dengannya, tentu saja beda harga jasa.
Pertanyaannya, bagaimana bisa harganya mahal tapi hasil seni jepret shutter-nya biasa-biasa saja? "Ngga nyeni-nyeni amat"; kolase foto sample-nya tidak "bercerita"?; atau tidak terlalu elok dipandang karena komposisinya berantakan?Â