Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari WNI Ke WNA: Andai Pindah Negara Semudah Pindah Rumah

26 Juli 2024   17:37 Diperbarui: 26 Juli 2024   21:11 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa platform media sosial. (Foto oleh PixaBay | Sumber Pexel) 

Keajaiban yang tiap hari disyukuri dan kewarasan yang tiap hari diupayakan.

Tulis saya saat mengutip ulang cuitan seorang penulis dan pegiat literasi yang akunnya saya ikuti di X (Twitter), Windy Ariestanty. 

Rasa-rasanya saya tidak sedang berlebihan saat mengutip cuitannya itu—dan tulisan ini adalah bentuk penjabaran singkat beberapa alasan (mengapa) dari judul tulisan saya di atas. 

Mundur beberapa hari sebelumnya ada sebuah topik obrolan yang hangat dibicarakan di X (dan ini juga masih jadi buah bibir tersirat di media sosial hingga sekarang)—topik yang tentu saja menarik perhatian saya: wacana pindah warga negara. 

Sebagai orang tua yang keduanya berkewaganegaraan Indonesia, tiap dari kita tidak bisa menolak realitas yang ada: ya, kita adalah orang Indonesia. 

Di sana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan Bunda... 

Tapi, Indonesia semakin hari semakin menggila, dan sampai-sampai banyak orang secara massal ingin pindah negara.

Begitu pula dengan saya; saya ada di gerbong yang sama!

Baca juga:

Berkarya Demi Viral, Yakin Brandingmu Sudah Personal? 

Ilustrasi seorang pejabat beserta para pembantunya. (Foto oleh August de Richelieu | Sumber Pexel) 
Ilustrasi seorang pejabat beserta para pembantunya. (Foto oleh August de Richelieu | Sumber Pexel) 

Pemerintah dagelan

Di era digital seperti sekarang, selalu saja bisa melahirkan banyak cerita. Informasi cepat menyebar bagai virus, semua berpeluang terjangkit; yang berimun kebal akan memantau lebih banyak dan tidak akan mudah terbawa arus, yang tak kuat akan lebih mudah sakitnya; gejala awalnya mudah "tantrum".

Tapi, sebagai orang Indonesia, fakta bahwa jika sebagian dari kita bisa tantrum lebih sering justru oleh pemerintah adalah sesuatu yang nyata. 

1. KKN merajalela

Rasanya tidak ada satupun pemerintahan yang pernah ada di negara Indonesia ini (atau di negara-negara lain?) tanpa unsur KKN—agak mustahil.

Indonesia adalah sebuah negara dengan fondasi sistem kekeluargaan; tolong menolong adalah yang utama, membantu yang kesusahan adalah keharusan. 

Sebagai contoh, suatu bentuk usaha yang dirintis dari 0 saja pun, akan kita ajak pengelolaannya (secara bersama atau seluruhnya) pada orang terdekat kita terlebih dahulu. Bukan ujug-ujug tetangga sebelah rumah. 

Hanya saja, negara bukan rintisan keluarga, ini menyangkut hajat hidup orang banyak. 

Pejabat hanya diserahi mandat, rajanya tetap rakyat. 

Begitu bukan seharusnya? 

Tapi, makin hari KKN yang dilahirkan pemerintah kian gamblang. 

Dimulai dari nepotisme kecil-kecilan, berkembang jadi korupsi besar-besaran— belum lagi kolusinya hanya karena faktor ngga enakan.

Semua disebarkan cepat oleh pemberitaan; mengecek apa yang hot trending jadi rutinitas. 

Baca juga:

Konsisten Menulis di antara Jebakan Rutinitas, Memang Demi Apa? 

Mainnya yang terlalu "kasar" atau media-media sekarang sudah terlalu barbar untuk bongkar-bongkar?

Bukankah patut rasanya rakyat merasa curiga jika ada pejabat yang mengisi posisi di ruang-ruang publik tanpa mekanisme yang jelas dan transparan—sekalipun mungkin yang bersangkutan memiliki kecakapan, kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni—alih-alih mengakali undang-undang dan konstitusi? 

Sebagai rakyat Indonesia kita—setidaknya saya—pada akhirnya terbiasa untuk merawat rasa curiga itu. 

Terbiasa dan harus! 

2. Defensif

Mari bermimpi suatu saat para pejabat kita adalah para pejabat yang matang: mengakui kesalahan tanpa disertai alasan yang tak masuk akal—defensif tak karuan.

Pejabat Indonesia belum layak disandingkan dengan pejabat Jepang atau Korea—jangan sekali-kali!

Kultur yang senantiasa merawat rasa malu sebagai prinsip hidup adalah pijakan mereka. 

Semua orang pasti pernah berbuat salah tapi dia yang mengakuinya adalah berjiwa besar—namun bagi pejabat yang mengakui kesalahan dan meletakkan jabatannya karena hal tersebut (karena kesalahan yang dibuatnya) adalah manusia super yang sesungguhnya.

It perfectly shows the cultural differences. 

Mau di-cancel culture? 

Memang bisa? 

Baca juga:

Johnny Depp dan Cancel Culture yang Tak Mengenal Nama Besar

3. Banyak bercanda

Kita tak perlu menghabiskan kuota yang banyak untuk menonton lawak di internet, kebijakan pemerintah kita sudah mewakilinya—dalam lima menit mungkin kita bisa tertawa dengan keras karenanya. 

Sudah kebijakannya banyak yang ngawur (karena digodok tanpa orang yang ahli di bidangnya), dilakukan tanpa dari hulu ke hilir pula, belum lagi kecolongan yang tak berkesudahan. 

Kebanyakan "seremonial", retorika, dan lip service namun minim tindakan nyata! 

Kerja, kerja dan kerja

Semboyan yang membangkitkan semangat sekali; jargon magis di sepuluh tahun pemerintahan Indonesia yang sekarang. 

Faktanya? 

Ngurusin batas usia masuk kerja di tiap lowongan pekerjaan saja ngga bisa! 

Padahal Indonesia sudah jadi bahan olok-olok di luar negeri tuh, terakhir yang saya tahu ini diketawain oleh beberapa HRD di Jerman.
Boro-boro seperti Jepang yang tidak memandang lulusan!

Sudah syarat usia yang problematik, ditambah lagi syarat yang tak masuk akal lainnya seperti siap bekerja di bawah tekanan lah, harus memiliki kendaraan sendiri lah, harus punya pengalaman lah (padahal yang melamar didominasi fresh graduate, harus bisa kayang dan salto lah, dan lain sebagainya).

Ngakunya well educated tapi pasang lowongan yang hampir-hampir merampas hak asasi?!
Ah sudahlah.

Kalau sudah pernah jadi korban dari syarat-syarat jelek seperti yang saya sebutkan tadi, nanti kalau sudah bisa mempekerjakan orang, jangan jadi pelaku ya? 

Para pekerja di Indonesia sering dipaksa untuk overwork, underpaid pula, tapi masih juga kadang diglorifikasi.
Itu belum bicara pungli dan "ordal". 

Para diaspora yang sudah nyaman di luar negeri juga tidak akan dengan mudahnya tergoda kembali, meskipun pakai jurus bujuk sana-sini. 

Baca juga:

Nego Gaji Bukan Cuma Hitung-hitungan, Melainkan Tantangan

Sekalinya mau buka usaha, giliran mau berkembang pelan-pelan, eh, regulasi dan birokrasinya njelimet. Parahnya sudah mulai diendus-endus oleh orang pajak.

Sampai sini wajarlah sebagian dari orang Indonesia ngebet pindah negara, termasuk saya. 

Duh...

Darurat rasa aman

Lapangan kerja yang terbatas melahirkan daya beli yang rendah dampaknya tentu saja angka kriminalitas yang tinggi.

Pemerintah bukan tidak tahu ini, tapi tidak mau tahu.

Tahu bedanya kan? 

Sependek ingatan saya, beberapa tahun yang lalu—apalagi saat saya masih aktif berorganisasi—pulang malam pakai motor itu biasa. Jam sepuluh masih di luar rumah, duh tak berbilang. Tidak perlu ada yang ditakutkan, sekalipun saya perempuan. 

Namun, sekarang, jangan macam-macam.
Bayang-bayang pembegalan di jalan sudah memenuhi kepala, pokoknya jam 9 sudah harus diam-diam (di rumah)—

dan tentu saja kebanyakan orang Indonesia makin lama makin ngga asik, dan mengubah sebagian yang lain jadi ngga asik. 

Beberapa platform media sosial. (Foto oleh PixaBay | Sumber Pexel) 
Beberapa platform media sosial. (Foto oleh PixaBay | Sumber Pexel) 

Mudah nyinyir tanpa jelas a sampai z-nya dan mudah pula mengumpat—yang bahkan ia tak kenal orangnya. 

Mudah digiring opininya tanpa melalui proses cari tahu terlebih dulu, padahal topik pembahasannya juga dia masuk di level "ngga paham-paham amat". 

Baca juga: 

5 Menit: Seandainya Kita Tak Sibuk Debat di Media Sosial

Orang-orang juga mudah sekali tersinggung, membuat obrolan terasa tidak lepas. Sekalinya lepas dan si lawan bicara tak terima, bisa-bisa berujung sakit hati—kemudian diolah jadi dendam dan voila kekerasan pun terjadi, penganiayaan—bahkan pembunuhan. 

Cukuplah berita-berita kriminal di tv atau di media sosial (yang bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa) jadi saksi. 

Sekarang jadi lebih aware jaga-jaga mulut. 

Media sosial di Indonesia sekarang juga didominasi orang-orang yang cepat overreactive. Padahal berkomentar dengan "oh" sebagai bentuk filter awal ngga sememalukan yang dikira.

Kita memang subyek utuh dan menjadi bagian dalam bermasyarakat (baik secara tatap muka atau melalui daring) tapi pilah-pilih mana yang harus dikomentari jadi tugas masing-masing. 

Banyak diam memang tidak menjadi solusi, tapi berkomentar tidak pada tempatnya juga tidak perlu.

Dari yang saya paparkan pada poin ini, saya sendiri sering bertanya, kemana perginya self anger management orang-orang Indonesia? 

Tulisan ini belum berbicara utuh tapi tanpa saya minta pun, pembaca sekalian sudah pasti bisa menambahinya—bahkan jauh lebih sempurna dari saya yang tulis di ini— seperti penanganan hukum yang tampaknya tidak bergerak maju (terutama kekerasan seksual dan kekerasan terhadap anak), kebebasan (mengutarakan) berpendapat yang mundur ke belakang, kultur budaya dengan segala dinamikanya—dan lain sebagainya. 

Baca juga: 

Hikikomori di Jepang: Ternyata Tidak Memiliki Anak Tidak Selalu Buruk 

Ada istilah yang bilang jangan jadi orang asing di negeri sendiri. Tapi, kalau ada peluang, saya tidak ingin lagi di sini. Bukan karena tidak cinta Indonesia, hanya saja tinggal di Indonesia sudah membuat orang seperti saya gerah. 

Andai pindah negara semudah pindah rumah—hanya saja pindah rumah juga tidak semudah kelihatannya. 

Jadi penasaran, apakah Cinta Laura sudah bisa menebak Indonesia akan seperti sekarang sewaktu pernah ditanya memilih jadi warga negara Jerman atau Indonesia? (baca: Cinta Laura memiliki dua kewarganegaraan sebelum usianya 17 tahun)—dan pada akhirnya Cinta Laura mantap memilih menjadi warga negara Jerman. 

Oke, mari kembali ke realitas: Indonesia yang dulu bukan Indonesia yang sekarang dan tugas kita adalah merawat kewarasan.

Karena seperti yang dikatakan Windy Ariestanty:

tinggal di Indonesia dan masih waras itu sebuah keajaiban. 

Tabik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun