Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hikikomori di Jepang: Ternyata Tidak Memiliki Anak Tidak Selalu Buruk

25 Juli 2024   15:36 Diperbarui: 26 Juli 2024   07:33 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang yang kesepian. (Foto oleh Engin Akyurt; Sumber Pexel) 

Rasanya masih segar dalam ingatan sebagian besar orang mengenai bagaimana gonjang-ganjing yang dihebohkan oleh influencer Gita Savitri tahun lalu menyoal child free yang ia pilih bersama pasangannya.

Banyak yang menyetujui pilihannya namun jelas secara jamak lebih banyak yang menghujat.

Hujatan-hujatan groupthink yang bersifat intimidasi tersebut dihadapi Gita dengan caranya sendiri—ia tak peduli dianggap sebagai public enemy ketika itu.

Baca juga: 
Gita Savitri dari Child Free Sampai Anti Aging Alami, Ini 4 Alasan untuk Bersikap Biasa-biasa

Groupthink sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Psikolog Irving Janis

yang melakukan penelitian secara ekstensif mengenai pengambilan keputusan kelompok dalam kondisi stres dan dimuat dalam Psychology Today edisi November 1971.

Secara sedikit garis besar, bisa saya simpulkan groupthink adalah menganggap bahwa seorang individu cenderung menahan diri mengungkapkan pendapatnya yang sebenarnya terhadap suatu hal yang dirasa ragu hanya karena sebagian besar orang memilih berseberangan (dengan penilaian yang diambilnya tersebut) dan sepakat untuk menyetujui—sekalipun pendapat secara jamak tadi boleh jadi mengabaikan etika dan moral.

Baca juga: 
Belajar dari Gita Savitri: Sejak Kapan Influencer Harus Jaga Perasaan Warganet

Menyoal anak sendiri, sudah menjadi rahasia umum jika Jepang menjadi salah satu (ada pula Korea?) negara yang tingkat kelahirannya semakin menurun tiap tahun. 

Banyak faktor yang menyebabkannya, tapi hal paling substansial tak jauh-jauh dari masalah ekonomi—apalagi sejak Jepang mengalami perekonomian yang mandek tiga puluh tahun terakhir.

Jepang sebenarnya tidak sedang baik-baik saja.

Adalah sebuah cerita dari seorang perempuan asal Indonesia yang menikah dengan seorang laki-laki Jepang dan telah memiliki seorang anak.

Ia kerap membagikan cerita kesehariannya melalui akun Instagramnya tentang betapa kedua mertuanya menyayanginya sebagai menantu dan pula sangat menyayangi anaknya yang menjadi cucu penerus marga Jepang mereka—tidak seperti teman-teman lansia mereka yang lain.

Hal ini mengindikasikan secara tersirat—alih-alih kita mengacu data saintifik—bahwa benar Jepang tengah mengalami krisis kelahiran baru tiap tahunnya.

Para orang tua Jepang lebih bertanggung jawab?

Pertanyaannya, apakah para orang tua di Jepang jauh lebih bertanggung jawab dibandingkan dengan para orang tua di Indonesia?

Tangan mungil bayi baru lahir yang digenggam ibunya. (Foto oleh Helena Lopes; Sumber Pexel) 
Tangan mungil bayi baru lahir yang digenggam ibunya. (Foto oleh Helena Lopes; Sumber Pexel) 

Jepang tidak mengenal istilah "setiap anak ada rezekinya" atau "banyak anak banyak rezeki"—sila bandingkan dengan Indonesia?‌—dan oleh karenanya masyarakat Jepang tak urung dalam tiga puluh tahun terakhir benar-benar berpikir seribu kali bahkan jutaan kali untuk memiliki anak.

Ini jelas dampak dari ekonomi Jepang yang dewasa ini segala sesuatunya serba mahal—malah Jepang belakangan termasuk negara yang mengalami resesi ekonomi besar-besaran di tahun ini—dari mulai biaya hidup hingga beban pajak yang melangit. 

Maka tak heran negara Jepang sedang menghadapi situasi keengganan masyarakatnya yang enggan menikah alih-alih memiliki anak. Jika pun ada pasangan yang memutuskan menikah dan ingin punya anak, satu sudah lebih dari cukup. 

Baca juga: 

Masih Betah Melajang? 6 Hal Ini yang Mungkin Jadi Alasan

Boleh jadi, karena para orang tua di Jepang beranggapan jika tidak bisa memberikan "yang terbaik"—alih-alih sempurna di tiap fase kehidupan si anak—lebih baik tidak memiliki anak (ada pula sebagian lagi yang menganggap anak adalah sumber masalah dan satu-satunya cara untuk tidak mendatangkan masalah tersebut tentu saja tidak bersinggungan dengannya?).

Karena penurunan populasi yang parah inilah (baca: yang berdampak akan lenyapnya Jepang dari peta dunia), pemerintah Jepang kian gencar "merayu" pasangan yang telah menikah untuk memiliki anak. 

Dimulai dari jaminan biaya hidup (terutama untuk keluarga yang memiliki penghasilan rendah) hingga berita yang terbaru akan membiayai pendidikan hingga jenjang S3 untuk tiap anak yang dilahirkan.

Fenomena Hikikomori

Hikikomori sedang marak di Jepang dan pemerintah Jepang sedang berjuang untuk mengatasinya.

Informasi ini saya ketahui dari salah satu dari dua saluran berita yang saya anggap terpercaya untuk saya ikuti di WhatsApp.

Hikikomori sendiri adalah tindakan mengasingkan diri dari dunia luar yang yang dilakukan oleh masyarakat Jepang akhir-akhir ini dengan tetap tinggal di rumah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun‌.

Ilustrasi orang yang kesepian. (Foto oleh Engin Akyurt; Sumber Pexel) 
Ilustrasi orang yang kesepian. (Foto oleh Engin Akyurt; Sumber Pexel) 

Tidak main-main, menurut data dari berita yang saluran WhatsApp-nya saya ikuti, peningkatan jumlah pelaku Hikikomori meningkat tajam di tahun 2023 dengan jumlah mencapai hampir satu juta jiwa dan 36% di antaranya justru adalah lansia berusia 50 hingga 60 tahunan.

Pelaku Hikikomori adalah orang-orang yang tertekan secara psikis dan seperti yang kita tahu bersama, Jepang adalah salah satu negara yang memiliki masalah yang cukup serius yang berhubungan dengan kesehatan mental, hal itu dibuktikan dengan kecenderungan yang tinggi dari masyarakatnya untuk bunuh diri.

Hikikomori dan kesehatan mental masyarakat Jepang

Ada sebuah canda sarkas seorang warganet di media sosial yang berkata etos kerja dan betapa disiplinnya terhadap waktu, orang Jepang tak perlu diragukan lagi tapi tidak dengan feel lonely mereka.

Ya, budaya orang Jepang yang tidak boleh terlihat gagal di mata masyarakat dan tidak terbiasa membagi keluh kesah—alih-alih meminta bantuan orang lain—membuat orang-orang Jepang memiliki masalah terhadap apa yang dinamakan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

Tidak seperti di Indonesia, meski terlihat kepo dan sering "ngurusi" yang bukan urusannya tapi masih sigap saling tolong jika ada yang membutuhkan bantuan—alih-alih ngerumpi berjam-jam di komplek tempat tinggal.

Jadi, tak perlu heran jika sesama tetangga pun orang Jepang jarang bertegur sapa (atau tidak kenal sama sekali?); cenderung individualis—malah tetangga sebelah rumah bisa saja bisa dilaporkan ke polisi dengan dalih berisik dan mengganggu ketenangan personal mereka, sekalipun itu suara tangis bayi.‌

Namun, ceritanya menjadi menarik jika mereka yang melakukan Hikikomori tersebut adalah lansia dan juga tidak berpenghasilan—yang biaya hidupnya justru bergantung dari orang tuanya yang 20 atau 30 tahun lebih tua darinya?

Ya, inilah yang terlanjur membuat geger Jepang—dan menjadi headline banyak media lokal maupun asing—yakni adanya kasus penelantaran jasad orang tua pelaku Hikikomori yang telah meninggal berhari-hari. Jasad orang tua mereka dibiarkan begitu saja di rumah tanpa dimakamkan. 

Ketika dilakukan penindakan oleh aparat yang berwenang mereka berkata alasannya karena ketiadaan biaya acara pemakaman?

Sungguh ironi. 

Ilustrasi seseorang yang menabung untuk masa tua. (Foto oleh Maitree Rimthong; Sumber Pexel) 
Ilustrasi seseorang yang menabung untuk masa tua. (Foto oleh Maitree Rimthong; Sumber Pexel) 

Tidak Punya Anak Tidak Selalu Buruk

Saya tidak sedang menunjuk hidung siapa yang salah dari fenomena Hikikomori yang terjadi di Jepang ini, namun rasa-rasanya tidak memiliki anak tidak selalu buruk; 

mungkin saja para orang tua Jepang dari pelaku Hikikomori hanya berusaha menjalankan tanggung jawabnya sebagai orang tua untuk memberikan yang terbaik buat anaknya meskipun usia si anak sudah masuk usia lanjut sama seperti dirinya—atau ada alasan-alasan pribadi lain, yang cukup mereka saja yang tahu (kembali lagi ke poin budaya orang Jepang yang cenderung tidak ingin berbagi keluh kesah?).

Mungkin tidak ada pula istilah sandwich generation pada masyarakat Jepang karena para orang tua di Jepang tidak menghendaki yang demikian terjadi pada anak mereka (baca: anak mereka menanggung kebutuhan hidup sehari-hari bahkan menanggung biaya hidup mereka hingga mereka tua)—atau lagi-lagi dan lagi para orang tua Jepang ini akan dibenturkan pada kultur dan budaya yang menjadi prinsip dasar mereka dalam menjalani hidup.

Jiwa pekerja keras masyarakat Jepang yang akan terus bekerja selagi mampu, cukup menjadi jawaban. Mereka akan bekerja untuk memiliki tabungan (atau pensiunan) dan asuransi, sehingga saat dimasa mereka tidak bisa bekerja lagi, mereka tidak menggantungkan hidup pada anak-anak mereka.

Tak ada yang tabu pula menyoal tinggal di panti jompo jika memang keadaan tidak memungkinkan—dengan atau tanpa memiliki anak. Banyak panti jompo yang sudah memenuhi standar layak di sana. 

Bagaimana dengan kita di Indonesia? 

Di Jepang, menjadi orang tua yang bertanggung jawab sangat berat; memiliki anak tidak sekadar memikirkan isi perut mereka. 

Di Indonesia, semoga tidak ada lagi penelantaran orang tua yang sudah sepuh tanpa sering dikunjungi hingga berujung meninggal seperti yang terjadi baru-baru ini. 

Jika panti jompo belum menjadi sesuatu yang relevan dan orang tua tidak ingin merepotkan si anak dengan tinggal serumah, mempekerjakan caregiver yang terpercaya bisa jadi solusi. 

Tulisan ini tidak mewakili representasi mutlak masyarakat Jepang dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, tapi jika menilik dari apa yang terjadi, rasa-rasanya para pembaca sekalian bisa mengambil kesimpulan sendiri.

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun