atau tentang pakaian yang akan dikenakan (baca: bersih dan rapinya). Belum lagi dianggap gagal sebagai ibu kalau gizi anak tidak terpantau dengan baik—alih-alih stunting—dan lain sebagainya.
Baca juga:Â
Menjadi Seorang Ibu Sangat Dekat dengan Gangguan Kejiwaaan
Jika dicermati bersama, hampir boleh saya katakan 80% iklan menyasar perempuan dengan segala urusan domestik yang dibebankan padanya.Â
Boro-boro ngomongin kesetaraan gender atau persentase yang seimbang antara laki-laki dan perempuan di ranah publik—termasuk politik—demi membicarakan ide atau gagasan besar, kalau pada kenyataannya kita sebenarnya tidak cukup sepamahaman mengenai esensi dan atau mendefinisikan pada siapa urusan domestik itu sendiri sepatutnya layak dibebankan—alih-alih masih saja meributkan siapa yang lebih pantas memasang regulator tabung gas ke kompor atau angkat galon yang berisi air siap minum ke dispenser.
Politik dan perempuanÂ
Bagi saya, politik tidak akan menjadi jalan terjal bagi perempuan yang dihargai pemikirannya untuk sebuah cita-cita luhur; tidak pula hanya dianggap sebagai "pemanis" atau seperti pemandu sorak (baca: cheerleader) untuk sekadar memenuhi kuota keterlibatan dalam politik—alih-alih dengan serius memperkenalkan—pendidikan—politik bagi perempuan (baca: yang bisa dimulai dari akar rumput terkecil demi menciptakan lebih banyak lagi wadah-wadah politik skala besar).Â
Sebagai orang yang merasa ikut bertanggung jawab untuk terus mendorong keterlibatan peran perempuan di ranah publik termasuk juga dalam bidang politik, yang ingin saya katakan bahwa upaya saya dan teman-teman yang sepemikiran dengan saya akan nir faedah jika cita-cita luhur ini tidak didukung support system yang baik.Â
Untuk itulah dibutuhkan lebih banyak pemikiran perempuan hadir di ruang-ruang publik dan disuarakan—di segala sendi kehidupan—tentu saja boleh dengan berbagai cara, sesuai dengan jalan ninjanya masing-masing.Â
Karena sejatinya politik adalah seni bernegosiasi untuk sebuah tujuan tertentu; dan untuk mengawalinya, tentu saja politik tidak berbicara tentang siapa di antara laki-laki atau perempuan yang padanya urusan domestik pantas diserahkan.
Sebagai contoh, jika laki-laki yang menjalani profesinya sebagai guru dianggap sebagai panggilan jiwa, lantas apakah ada yang salah jika perempuan ingin memenuhi panggilan jiwanya dengan terjun ke dunia politik?Â
Sila tarik diri ke dalam—sila direnungkan.Â
Tabik.Â
Dibuat di Palembang, 18 Februari 2023.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H