#2 Limitasi opini
Poin selanjutnya adalah saya beranggapan bahwa opini tidak akan menjadi liar sekaligus privat lagi dalam kepala seseorang jika ia sudah melepasnya ke ruang publik (baca: melalui pernyataan di media sosial) dan ini pun berlaku bagi pernyataan Gita Savitri tadi—di ruang publik kita tidak mengenal adanya limitasi opini.
Saya mengatakannya demikian karena tiap opini yang dibagikan di ruang publik akan melahirkan opini baru yang isinya bisa ketersinggungan, keberatan, ketidaksetujuan, dan lain sebagainya.
Menyoal ini, saya sebenarnya lebih menyoroti bagaimana seharusnya ia mengekspresikan itu ke ranah publik— bukan pada keputusannya untuk child free alih-alih beranggapan bahwa child free adalah anti aging alami.
Ini murni bagaimana caranya dalam menyampaikan—Gita Savitri gagal dalam memilih pemilihan kata dalam balasan komentarnya, padahal itu mutlak diperlukan karena ia tidak sedang ditodong secara langsung atau dimintai pendapat tiba-tiba sehingga tidak memiliki waktu untuk berpikir.
#3Â Happy or not versus ego trap
Standar orang untuk bahagia jelas tidak bisa dipukul rata, apalagi jika kita berbicara seputar keputusan satu pasangan untuk memiliki anak—atau tidak ingin memilikinya.
Baca juga:
"Speech Delay": Cara-cara Sederhana Saya agar Anak Mahir Bicara, Sudahkah Dipraktikkan?Â
Selalu saja ada pasangan yang benar-benar bahagia dan menikmati dinamika proses dalam hal pengasuhan si anak ketika sudah memilikinya dan tentu juga ada pula yang dengan sadar sejak awal memilih child free karena beberapa faktor lain contohnya seperti ketidaksiapan mental atau finansial,—
atau memang beranggapan child free menjadi salah satu sebagai sumber kebahagiaan karena berhasil menjauh dari sumber masalah.Â
Go ahead juga sih.Â