Intinya, lo mau childfree gpp. Tp please keep it to yourself. Ngga usah merasa paling superior.
Kutipan di atas adalah salah satu komen seseorang pada sebuah cuitan yang saya dapat di linimasa Twitter—tidak saya tambahi dan tidak pula saya kurangi, plek sama.Â
Begitu membacanya, saya merasa seolah ada ajakan persuasif terselubung untuk sebuah pembenaran agar ikut-ikutan merasa marah.
Ya, influencer Gita Savitri kembali blunder—lagi—dengan pernyataannya dan masih dengan isu yang sama yaitu child free. Tetapi kali ini ia mengaitkannya dengan pernyataan bahwa tidak memiliki anak adalah anti aging yang alami.
Not having kids is indeed natural aging. You can sleep for 8 hours every day, no stress hearing kids screaming. And when you finally got wrinkles, you have the money to pay for botox.
Reaksi saya atas opininya itu berhenti pada sebatas, "oh, okay, terus..." (walaupun tak urung saya tertawa juga sih); at least, respon saya masih ada di level medium. Bagi saya, mencari tahu menyoal ini jauh lebih menarik dibandingkan bereaksi membabi buta di awal.
Sekadar flashback, kalau boleh jujur saya tahu sosok Gita Savitri ini beberapa tahun yang lalu, persisnya sejak ia mengomentari seorang artis Indonesia yang memilih melepas jilbab di kanal Youtube pribadi miliknya (baca: ia kontra dengan keputusan sang artis tersebut)—dan sejak saat itu praktis saya berusaha menyelami cara berpikirnya.
Tak semua cara berpikir Gita Savitri ini dapat saya terima—ada beberapa pandangannya yang tak sejalan dengan saya.Â
Namun, saya tak perlu merasa mencak-mencak (baca: menyoal child free yang hingga saat ini kukuh ia pegang bersama suaminya)—alih-alih bahkan sampai hati—menuduhnya child phobic hanya karena keputusannya itu; saya merasa keputusan Gita tetap lah valid berikut dengan segala konsekuensi yang menyertainya, salah satunya sekalipun pada akhirnya ia seolah dianggap sebagai public enemy oleh orang-orang.Â
Child free dan anti aging dalam pernyataan Gita Savitri, yang tersinggung jelas banyak, yang memilih bodo amat juga tidak sedikit.
Tetapi, daripada menghitung jumlah keduanya, saya lebih tertarik pada pernyataan Gitasav alias Gita Savitri itu sendiri; saya merasa ada banyak hal yang perlu digarisbawahi mengenai komentarnya tersebut (baca: yang jika dijabarkan satu persatu membutuhkan penjabaran yang begitu kompleks)—yang sebenarnya ia sendiri sadar ia tahu (baca: atau boleh jadi disaat yang bersamaan ia tidak sadar ia tidak tahu)—dan tentu saja hal yang sama pun berlaku bagi beberapa dari kita.
Hanya saja alih-alih ikut merasa terprovokasi, saya segera menetapkan standar saya sendiri untuk bersikap biasa-biasa saja setelah saya tahu secara garis besar apa yang jadi akar permasalahannya.Â