Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Setop Mengganggu Anak yang Sedang Bermain Sendiri, Ini 4 Alasannya

5 Agustus 2022   16:23 Diperbarui: 6 Agustus 2022   04:41 1743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang anak yang sedang bermain sendiri. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Tatiana Syrikova) 

Jika ditanya sejak kapan saya mulai menyukai anak-anak—serta mempelajari apa saja tentang mereka—maka saya pun tidak tahu pasti jawabnya.

Boleh jadi mungkin sejak melihat wajah-wajah polos mereka saban kali, atau ketika saya mengalami sendiri dunia kanak-kanak saya di tahun 90-an yang begitu penuh cerita dan warna—atau boleh jadi pula almarhumah ibu yang mengajarkannya secara tersirat pada saya.

Tak lekang rasanya dalam ingatan saya tentang almarhumah ibu saya yang sering mampir ke kamar saya hanya untuk sengaja membelai rambut saya dan mencium kening saya diam-diam ketika saya tidur; yang sebenarnya tanpa ia tahu, (baca: pun saat saya menyadarinya karena belum lelap tertidur) saya sering memilih untuk tidak bangun demi membiarkan beliau melakukan itu pada saya.

Ya, tak peduli berapapun usia saya, tak peduli saya jarang berkata "aku sayang Mama", ibu kerap melakukan itu ketika larut malam menjelang.

Pun terhadap kedua adik saya. 

Beberapa kali, saya pernah mendapati ibu melakukan hal yang sama terhadap kedua saudara saya tersebut dan itu adalah pemandangan yang manis untuk saya lewatkan percuma.

Seperti ibu yang melakukannya diam-diam, saya pun mengamatinya diam-diam.

Begitu pula saat di lapangan, ketika saya bertindak sebagai official photographer, saya kerap memotret anak-anak kecil: mengabadikan mereka dalam frame saya dengan begitu rupa—semisal momen itu bercerita tentang upaya mereka yang bersikap manis meski duduk kaku di kursi undangan, atau saat mereka ada di gendongan ayah atau ibu mereka.

Meski terkadang tangan tak sampai selalu menyapa atau menggendong mereka (baca: entah karena ibunya yang dari kejauhan terlihat jutek atau bapaknya yang kelewat manis sehingga akan berpotensi membuat saya kesengsem) tapi senyum saya sangat sulit untuk saya tahan.

Bidik tanpa kikik—dan voila, tahu-tahu ada saja file foto dengan wajah-wajah seperti mereka—dengan atau tanpa mereka menyadarinya.

Baiklah, saya cukupkan bridging (baca: istilah dalam dunia broadcasting. Bridging adalah prolog yang dilakukan seorang penyiar (atau lebih dalam sebuah obrolan) untuk masuk ke topik utama pembahasan) singkat saya menyoal inti tulisan saya kali ini; saya akan berpindah pada narasi yang jauh lebih serius.

Sebagai onty-onty yang menyukai anak kecil (baca: khususnya anak dengan rentang usia sama dengan atau di bawah tiga tahun), saya—kalau boleh—menganalogikan mereka layaknya seperti baterai yang memiliki daya tinggi dan mampu meledakkan energi saya lagi. 

Betapa tidak, saya yang terkadang kelelahan karena satu pekerjaan atau kurang mendapat jatah tidur semalam, sangat jarang tak tergoda jika saya melihat mereka atau membersamai mereka.

Seperti kita tahu bersama, menyelami cara pikir anak kecil bisa dilakukan dengan banyak cara, misal dengan mengajak mereka mengobrol (baca: interaksi ini mungkin cenderung membuat kita terlihat seperti anak kecil, tapi itulah salah satu "cara"-nya; singkirkan terlebih dahulu logika kita sebagai manusia dewasa yang—sok paling—tahu segala hal)—atau ikut bermain bersama mereka.

Baca juga: "Speech Delay": Cara-cara Saya agar Anak Mahir Bicara, Sudahkah Dipraktikkan? 

Bicara soal bermain, pernahkah kita mendapati seorang anak sedang bermain sendiri dan tengah serius bersama mainannya; tahu-tahu membuat kita serius pula dalam mengamatinya?

Setop, jangan diganggu! 

Selain melatih daya motoriknya, ada beberapa alasan lain mengapa kita sebaiknya tidak disarankan mengganggu anak yang sedang bermain sendiri—dan dari rentang waktu pengamatan yang sudah saya lakukan menyoal anak, izinkan saya memberi tahu dengan singkat beberapa di antaranya. 

Bermain sendiri dapat melatih fokus seorang anak.(Sumber: Pexel.com | Foto oleh Jennifer Murray) 
Bermain sendiri dapat melatih fokus seorang anak.(Sumber: Pexel.com | Foto oleh Jennifer Murray) 

#1 Golden age 

Seperti kita tahu bersama, fase golden age (baca: usia 1-5 tahun) pada anak-anak adalah fase yang sangat perlu jadi perhatian khusus, terutama bagi para orang tua. Karena pada fase ini otak mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Tak heran segala hal yang berkaitan dengannya (baca: asupan makanan-minuman, pola asuh, gaya berkomunikasi, dan lain sebagainya) menjadi perhatian penting—termasuk pula ini ada keterkaitannya ketika kita membicarakan mengenai daya imajinasi;

Sebenarnya, tanpa kita sadari, daya imajinasi seorang anak sedang berkembang bersamaan dengan kegiatannya bermain—walau ia sedang bermain sendiri pada saat itu. Dengan kata lain, berkembangnya kreativitas seorang anak bisa pula dimulai dari sini. 

Jadi, jangan heran, akan ada masanya seorang anak menciptakan dialog dalam imajinasinya ketika mereka bermain sendiri—bahkan mungkin saat itu ia sedang bertindak sebagai dua pelaku—atau lebih.

Saya contohnya, saya kerap mengamati pola dan tingkah keponakan saya ketika ia sedang bermain sendiri.

Pernah satu kali, keponakan saya mengambil satu buku anak miliknya dan mengamati dengan sangat serius buku itu sembari berkomat-kamit yang ia lakukan sendiri dengan bahasa bayinya.

Saya amati dari kejauhan, ia membuka pelan-pelan tiap lembar buku tersebut. Dengan kata lain, bisa jadi saat itu ia sedang recall (baca: mengulang kembali) sebagian memori dalam kepalanya tentang apa yang pernah saya katakan saat saya—atau orang tuanya—membacakan buku cerita itu untuknya.

#2 Memusatkan fokus

Mungkin kita sepakat, bermain adalah salah satu kebutuhan dasar bagi seorang anak (baca: bahkan Samantha Elsener, seorang Psikolog Klinis yang konsentrasi bidangnya pada psikologi anak mengatakan bermain adalah 1 dari 10 hak dasar anak)—

dan untuk anak yang memutuskan bermain sendiri tanpa melibatkan orang lain, mohon jangan diganggu. 

Sekali lagi jangan diganggu—bahkan untuk hal-hal yang tak perlu. Meski cuma untuk menjawab sekadarnya demi memuaskan pertanyaan yang ada dalam kepala kita.

Karena meski bermain hanya dengan dirinya sendiri, sebenarnya seorang anak tengah melatih rentang fokus yang dimilikinya.

Dengan kata lain, distract dari kita (baca: meski sebelumnya kita lakukan setelah kita memastikan ia tidak dalam keadaan bahaya hanya karena tak bersuara karena asyik bermain sendiri) hanya akan membuyarkan fokus yang mungkin sudah ia bangun dengan susah payah.

Kita bisa berinteraksi dengannya nanti setelahnya (baca: ketika ia bosan dan tak lagi melanjutkan kegiatan bermainnya itu).

#3 Mandiri sejak dini

Melatih kemandirian adalah manfaat lain yang bisa diperoleh dari kegiatan bermain sendiri yang dilakukan seorang anak.

Fakta nyata yang mengiringinya adalah selama kegiatan tersebut si anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengenal dirinya—bebas menjadi dirinya sendiri.

Tak ada campur tangan orang lain—bahkan oleh orang tuanya sekalipun.

Proses mengenal diri sendiri ini pun akan selaras dengan rasa tenang yang akan didapatkannya. 

#4 Belajar memecahkan masalah

Karena pada prosesnya hanya melibatkan dirinya sendiri, maka jika ia menemukan "masalah" ia tak akan buru-buru meminta bantuan orang lain. Ia akan mempelajari ya terlebih dahulu.

Hal pertama yang akan dilakukan seorang anak saat menemukan tantangan, tentu saja mengidentifikasi masalah.

Contohnya, ketika keponakan saya melalui alat bermainnya diminta untuk mencocokkan bentuk ruang (baca: segitiga, lingkaran, kotak, persegi panjang dan lain sebagainya) untuk kemudian dimasukkannya ke sebuah wadah sesuai bentuknya.

Walau keponakan saya adalah bayi enam belas bulan (baca: setidaknya ketika tulisan ini dibuat) tapi ia pantang menyerah: keponakan saya mengerahkan segenap pikiran dan mengupayakannya terlebih dahulu, mungkin sembari bertanya, "Bagaimana caranya ya agar ini bisa masuk?" pada dirinya sendiri.

Tentunya, ini akan berdampak baik dengan bagaimana cara seorang anak mengambil keputusan pada saat itu, atau dengan kata lain, ia akan menyelesaikan masalah sesuai dengan kemampuannya sebelum ia meminta bala bantuan (baca: menyerah).

Jika kita memang ingin, terlalu banyak yang bisa dipelajari dari seorang anak kecil—dan bagi saya pribadi, anak kecil hadir di tengah-tengah kehidupan saya untuk membuat saya siaga dari sikap galak yang terkadang muncul atau dari watak keras kepala yang acapkali sulit dihindari karena satu hal.

Ah, mungkin Tuhan tahu sikap galak dan watak keras kepala harus perlu diseimbangkan. 

Begitulah arti anak-anak—dan dunianya—bagi saya (semoga para pembaca pun demikian).

Tuhan maha baik. Tuhan itu keren.

Tabik.

Catatan:

Pointer yang saya uraikan dalam tulisan ini adalah beberapa poin dari pengamatan saya menyoal anak dan samplenya adalah anak-anak dengan berbagai latar belakang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun