Mau kesal, tapi tak boleh. Karena tulisan ini bicara soal perempuan.
#2 Tak paham fungsiÂ
Tak semua perempuan paham memaknai "fungsi"Â dari sesuatu yang ia beli.
Buktinya, tidak mungkin ada istilah "ngga ada baju"Â padahal isi lemarinya penuh. Padahal mungkin macam-macam ada, mulai dari aneka long dress, cardigan, jumlah kemeja yang tak cukup satu, termasuk pula celana dengan ragam bentuk dan warna.Â
Itu baru seputar jenisnya, kita belum bicara tentang bagaimana "penempatan"nya yang bisa jadi dibagi dengan banyak turunan lagi seperti pakaian untuk ke kantor (baca: at least tempat kerja), pakaian untuk kencan, pakaian untuk main bareng teman, hang out ke mal, nongkrong di kafe atau lain sebagainya. Sementara—kebanyakan—laki-laki cenderung memakai pakaian yang itu-itu saja.Â
Jumlah pakaian yang dimiliki perempuan pada akhirnya akan berkorelasi dengan istilah "ootd"Â yang belakangan dengan mudah ditemui di laman Instagram.Â
Untuk laki-laki sendiri, sementara ini boleh saya katakan, tidak terlalu narsis untuk ber-ootd—alih-alih mereka masih terjebak pemahaman toxic masculinity—meskipun tak menutup kemungkinan tidak sedikit yang melakukannya.Â
Namun, saya yakin persentasenya tidak melebihi perempuan.Â
Itu baru pakaian—kita—belum bicara yang lain tentang bagaimana perempuan menghabiskan cuan mereka.Â
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya perempuan tanpa sadar sedang berlomba-lomba saling mengungguli sesama mereka (baca: di lingkungan mereka baik di sirkel keluarga atau pertemanan), malah tanpa sadar perempuan menciptakan sekat di antara kaum mereka sendiri.
Semua dilakukan acapkali demi GENGSI—pertaruhan demi nama baik, demi harga diri. Atau izinkan saya mengatakannya dengan: demi sebuah pengakuan, demi mendapatkan validasi.
Padahal validasi yang diberikan orang lain tidak selalu berbanding lurus dengan cara seseorang memilih bergaya hidup minimalis.Â