Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Perempuan Sulit Bergaya Hidup Minimalis?

27 Juli 2022   21:16 Diperbarui: 28 Juli 2022   11:59 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konsep minimalis terkadang tidak berlaku saat membelanjakan cuan. (Sumber Pexel.com || Foto oleh Ron Lach) 

Mau kesal, tapi tak boleh. Karena tulisan ini bicara soal perempuan.

#2 Tak paham fungsi 

Tak semua perempuan paham memaknai "fungsi" dari sesuatu yang ia beli.

Buktinya, tidak mungkin ada istilah "ngga ada baju" padahal isi lemarinya penuh. Padahal mungkin macam-macam ada, mulai dari aneka long dress, cardigan, jumlah kemeja yang tak cukup satu, termasuk pula celana dengan ragam bentuk dan warna. 

Itu baru seputar jenisnya, kita belum bicara tentang bagaimana "penempatan"nya yang bisa jadi dibagi dengan banyak turunan lagi seperti pakaian untuk ke kantor (baca: at least tempat kerja), pakaian untuk kencan, pakaian untuk main bareng teman, hang out ke mal, nongkrong di kafe atau lain sebagainya. Sementara—kebanyakan—laki-laki cenderung memakai pakaian yang itu-itu saja. 

Jumlah pakaian yang dimiliki perempuan pada akhirnya akan berkorelasi dengan istilah "ootd" yang belakangan dengan mudah ditemui di laman Instagram. 

Untuk laki-laki sendiri, sementara ini boleh saya katakan, tidak terlalu narsis untuk ber-ootd—alih-alih mereka masih terjebak pemahaman toxic masculinity—meskipun tak menutup kemungkinan tidak sedikit yang melakukannya. 

Namun, saya yakin persentasenya tidak melebihi perempuan. 

Itu baru pakaian—kita—belum bicara yang lain tentang bagaimana perempuan menghabiskan cuan mereka. 

Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya perempuan tanpa sadar sedang berlomba-lomba saling mengungguli sesama mereka (baca: di lingkungan mereka baik di sirkel keluarga atau pertemanan), malah tanpa sadar perempuan menciptakan sekat di antara kaum mereka sendiri.

Semua dilakukan acapkali demi GENGSI—pertaruhan demi nama baik, demi harga diri. Atau izinkan saya mengatakannya dengan: demi sebuah pengakuan, demi mendapatkan validasi.

Padahal validasi yang diberikan orang lain tidak selalu berbanding lurus dengan cara seseorang memilih bergaya hidup minimalis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun