Jika di kemudian hari si anak masih salah mengidentifikasi obyek yang ia lihat, sebisa mungkin kita jangan langsung bantah apa yang ia ucapkan dengan kata "bukan" lalu buru-buru mengoreksinya dengan obyek yang seharusnya.Â
Saya misalnya, saya akan menggantinya dengan memberikan "umpan" balik si anak seperti "oh, kamu melihatnya kuda, tante kok melihatnya itu domba ya?"Â
Sekali lagi, jangan pernah merasa lelah apalagi malas dalam berkomunikasi dengan anak. Kegiatan interaksi dalam berkomunikasi ini bisa dilakukan saat kita berkegiatan apapun bersama anak dan atau bisa pula dimulai dengan mengenalkan apapun sejauh jangkauan mata.
#3 Kontak mata yang meyakinkan
Proses menuntun seorang anak cakap dalam berbicara tak hanya melibatkan emosi semata, usahakan pula ada kontak mata terhadap mereka.
Bagi saya pribadi proses ini sama pentingnya seperti proses ketika seorang anak mendengarkan apa yang kita ucapkan (baca: semacam kroscek bahwa apa yang ia dengar tidak salah).
Ucapkan kata yang kita ingin ia tahu dengan memperagakan melalui mulut dan lakukan dengan perlahan (baca: eja sesuai penggalan suku kata). Artikulasinya harus jelas dan intonasinya harus bisa ditangkap dengan baik oleh pendengaran anak kita. Tahapan ini dapat melatih tiga inderanya sekaligus: pendengaran, penglihatan dan pengucapan.
Misalnya saya ketika menyebut kata kuda, saya menggerakkan mulut saya menjadi:Â "ku"-"da", atau ketika saya melafadzkan kata harimau menjadi:Â "ha"-"ri"-"mau".Â
Saya ketika mengucapkan setiap kata—apapun itu—selalu membuka lebar mulut saya sesuai penekanan suku kata dari tiap kata tersebut; saya praktikkan dengan benar bunyi setiap huruf vokal dan konsonan.Â
#4 Membiasakan (kata) yang benar
Pada poin ini saya agak sedikit berhati-hati dalam menguraikan dan saya harap ketika kita sudah tahu di mana letak "hati-hati"Â itu kita sebaiknya tak membiasakannya lagi.
Mungkin seorang anak yang lebih cepat dan mahir berbicara akan menyenangkan hati tapi bukan berarti anak yang sedikit terlambat dalam berbicara berarti memiliki orangtua yang—bisa—dikatakan gagal (baca: saya yakin, tak ada seorang pun yang ingin menjadi orangtua yang gagal dalam mengiringi proses belajar anaknya meskipun metode yang diterapkan terkadang terbilang keliru atau salah).