Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melawan Arah bagi Pengendara Motor Mungkin Sudah Biasa, tapi yang Ini Dijamin Bisa Buat Naik Darah

21 Juli 2022   02:32 Diperbarui: 21 Juli 2022   02:51 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi konvoi dua pengendara sepeda motor di jalan raya. (Sumber: Dokumentasi Pribadi || Foto oleh Kazena Krista) 

Mungkin hampir sebagian besar orang akan selalu terburu-buru setiap pagi ketika akan memulai aktivitas.

Termasuk saya. Tapi, pagi hari saya beberapa hari ini semakin hectic sejak tahun ajaran baru dimulai.

Sebagai orang yang komplek rumahnya tak jauh dari SMA dan SMP Negeri dan juga yang komplek rumahnya menjadi "rumah" bagi beberapa SD Negeri, keluar rumah menjadi tantangan tersendiri bagi saya. 

Bagaimana tidak, sebelum saya—dan sepeda motor saya—keluar pagar rumah, saya harus terlebih dahulu menyiapkan mental agar tidak mudah kesal. Saya sepertinya sudah bisa menduga hal itu akan berlangsung setiap pagi dalam beberapa jangka waktu yang lama untuk ke depan seiring diberlakukannya pertemuan tatap muka seratus persen dihampir setiap sekolah. 

Pagi seringkali membuat kesal

Selalu ada banyak alasan buat saya mengapa saya merasa kesal setiap pagi meskipun saya tak pernah absen mewanti-wanti diri sendiri. Bahkan kalau boleh sedikit melebih-lebihkan saya sudah (baca: selalu setiap pagi) menulis warning itu lima sentimeter di depan kening saya: JANGAN MUDAH KESAL!

Bukan—saya bukan tidak mensyukuri keadaan yang bisa dikatakan membaik setelah hampir tiga tahun pandemi covid19 melanda. Jangankan tidak bersyukur, tahun lalu saat masa-masa kelam covid terjadi di Indonesia dan membuat banyak korban jiwa berjatuhan, bertahan hidup bagi saya—dan keluarga—sudah lebih dari cukup.

Baca juga: "Komat-kamit Covid" Bertahanlah untuk Hidup Itu Lebih dari Cukup!

Bukan pula karena saya tidak berangkat lebih awal; saya selalu keluar rumah pukul setengah tujuh pagi (baca: untuk project yang sudah nyaris setahun saya geluti).

Tapi, seperti yang saya singgung di awal-awal paragraf pembuka, mungkin hampir sebagian besar orang akan selalu terburu-buru setiap pagi ketika akan memulai aktivitas. Termasuk saya.

Tantangan di pagi hari

"Tantangan" saya tiap pagi bermacam-macam tapi nyaris sama setiap harinya. Mulai dari panjangnya jarak tempuh perjalanan saya demi sesuap nasi dan sebongkah berlian, banyaknya lubang di jalanan, ketebalan aspal yang hilang perlahan—dan lebih dari satu gundukan aspal yang ditambal sulam.

Jadi, tidak heran bukan mengapa sepeda motor sering mengalami kerusakan baik pada remnya ataupun pada ban? 

Yang saya sebutkan belum terhitung durasi saat antri di lampu merah lho. Sepengetahuan saya, untuk lalu lintas jalan yang tidak ramai, durasi lampu merah sekitar satu menit, apalagi kalau lalu lintas yang ada di satu jalan terbilang ramai, bisa jadi tiga menit. 

Dan ini lumayan bisa bikin orang yang terburu-buru misuh.

Pengendara dan temannya yang tak mengenakan helm saat berkendara. (Sumber: Dokumentasi Pribadi || Foto oleh Kazena Krista) 
Pengendara dan temannya yang tak mengenakan helm saat berkendara. (Sumber: Dokumentasi Pribadi || Foto oleh Kazena Krista) 

Namun, seperti yang saya katakan sebelumnya, saya tak ingin menyebut semuanya sebagai kendala melainkan tantangan. 

"Bukankah kamu sudah terlatih untuk semua ini setiap pagi nyaris setahun?" Nyinyir saya pada diri sendiri. 

Ups.

Aneka kelakuan pengguna jalan raya

Hanya, "latihan" sabar saya tiap pagi tentu saja selalu tentang kelakuan ajaib sesama pengguna jalan raya.

Baik sesama pengguna jalan yang berkendara roda empat atau roda dua, sama saja. Tapi, kalau bisa sedikit melebih-lebihkan, pengguna roda dua alias sepeda motorlah yang jadi pemenangnya.

Main salip, ngebut tak karuan, merampas hak pejalan kaki di trotoar dan "ngantri" melewati zebra cross adalah beberapa di antaranya. Semuanya kerap terjadi apalagi di kota-kota besar. Tak terkecuali di Palembang, kota tempat saya tinggal.

Jangan ditanya kalau menyoal helm yang tak bertengger di kepala selama berkendara atau menerobos lampu merah meski cctv nyalang dan berada tak jauh dari sana—dan tentu saja melawan arah sudah menjadi biasa. 

Ini sih sudah menjadi tabiat dengan atau tidak dengan alasan terburu-buru.

Kelakuan terajaib jatuh pada...

Tapi, ada satu tingkah ajaib pengendara sepeda motor yang bikin saya tak pernah tak naik darah: konvoi berdua-duaan!

Namun, jauh dalam hati, saya berusaha berpikiran positif saja, mungkin dua orang—dengan dua motor yang berbeda sepeda motor—itu adalah sepasang karib yang sudah lama tak bersua atau sepasang sejoli dengan label mantan pacar yang ditakdirkan bertemu lagi, cuma apapun alasannya yang jelas konvoi dua-duaan di jalan raya itu tidak dapat dibenarkan—setidaknya dalam logika sehat saya sebagai sesama pengguna jalan raya.

Konvoi versus segala kemungkinan

Konvoi mereka selain membahayakan diri sendiri juga tentu saja membahayakan orang lain (baca: peluang kecelakaan terjadi sangat besar)—dan jika boleh menambahkan, apa yang mereka lakukan dapat pula memberikan kerugian besar bagi orang lain. 

Catat, kerugian! 

Primitif?

Lalu, keterlaluankah jika saya menyebut dua pengendara dengan dua motor yang berbeda itu sebagai orang yang primitif karena tingkah mereka di jalanan yang tidak patut itu?

Seorang pengendara sepeda motor melawan arah saat berkendara di jalan raya. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto oleh Kazena Krista)
Seorang pengendara sepeda motor melawan arah saat berkendara di jalan raya. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto oleh Kazena Krista)

Bayangkan jika orang yang berpotensi mengalami kerugian itu adalah kamu yang mungkin saja sedang menuju tempat wawancara kerja untuk kali pertama atau seseorang itu kamu yang sedang bertarung dengan waktu untuk pitching di depan klien yang bonafid atau bisa jadi kamu adalah seorang calon ibu yang paginya dihari itu jungkir balik kesakitan karena mengalami pembukaan jalan lahir dan hendak segera dilarikan ke rumah sakit agar tidak pecah ketuban.

Segala kemungkinan apapun bisa terjadi—terlepas kita sudah menyiapkan diri dengan baik atau tidak sebelumnya.

Tetapi, menurut hemat saya, itu tidak terlalu berlebihan karena kalau seseorang yang memiliki daya pikir atau daya nalar yang baik, mereka akan berhenti sejenak dan melipir ke pinggir jalan—(baca: kalaupun untuk menindaklanjuti temu dadakan mereka tersebut)—bukan dengan konvoi berdua-duaan di jalan seperti itu. 

Dari tindakan konvoi "ajaib" seperti yang saya bahas dalam artikel ini mengindikasikan tak semua orang yang—bisa—berkendara dapat cakap dan saling menghargai sebagai pengguna fasilitas umum.

Heran, padahal kalau mau kangen-kangenan bisa saling kontak dan buat janji ketemuan ya kan? Padahal ngobrol panjang bin ngalor-ngidul bisa banget lho di warkop tubruk atau coffee shop kekinian yang menjamur di hampir setiap tempat.
Hadeuh...

Catatan:

Maaf kalau para pembaca yang membaca artikel saya kali ini merasa tersinggung. 

Tulisan ini sudah barang tentu sering menjadi pengalaman saya dan sering sekali terjadi sehingga saya punya nyali yang lebih dari cukup menuliskannya. 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun