Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Setelah Status Saya Berubah

29 September 2021   20:03 Diperbarui: 29 September 2021   20:57 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aktifitas membaca. (Sumber: Pexel | Shvets Production) 

Belum lama yang lalu, status saya berubah. Saya pikir tidak secepat ini saya dapat menggantinya. 

Apa lagi yang saya bicarakan jika bukan centang biru yang begitu awuwu itu! 

Akun yang tulisannya sedang kau baca ini sebenarnya sudah berusia nyaris empat tahun, kawan—dibuat di tahun 2017—saya sendiri bahkan hampir saja melupakannya. 

Jika bukan karena rasa jengkel terhadap seseorang (baca: seorang follower) yang merengek meminta saya balik mem-follow akun Instagram miliknya beberapa bulan yang lalu, mungkin saya pun hingga sekarang tak akan menyadari jika saya pernah membuat akun di Kompasiana.

Jelas terlihat, postingan blog Kompasiana saya untuk kali pertama adalah sebuah bentuk kejengkelan—atau kalau tidak ingin disebut marah-marah.
Kau bisa membacanya di sini.

Alasan. 

Saya tidak bisa dibilang orang yang rajin menulis di Kompasiana—alih-alih menulis dengan rutin setiap hari seperti beberapa Kompasianer. Itu karena saya pun memiliki tenggat menulis yang lain.

Tapi, bukan berarti Kompasiana tidak memiliki arti tersendiri bagi saya.

Kompasiana sejatinya adalah salah satu wadah bagi saya untuk berbagi "isi kepala"—menuangkan apapun yang membuat saya gelisah terhadap sesuatu; atau wadah berbagi pengalaman. 

Karena bagi saya pengalaman tak melulu jadi alat memetik hikmah demi sebuah pembelajaran melainkan pula bentuk lain dalam bersenang-senang dan saya berharap orang lain mengetahuinya.

Dan tentu bisa saya katakan pula jika Kompasiana adalah wadah untuk berbagai sambat saya selain media sosial yang saya punya.

Centang biru pada akun saya. (Sumber: akun Kompasiana saya) 
Centang biru pada akun saya. (Sumber: akun Kompasiana saya) 

Saya tidak benar-benar terlalu peduli apakah tulisan saya akan dibaca banyak orang atau tidak—atau apakah akan mendapat predikat "tertinggi" atau "terpopuler" 

atau "artikel utama"—alih-alih menjadi tulisan yang paling banyak dikunjungi dan dibaca melalui mesin pencari Google dengan label "tren pekan ini", meskipun kalau boleh jujur ada pride tersendiri jika tulisan saya mendapat salah satu di antaranya. 

Tapi, yang jelas, saya tak pernah menulis asal-asalan di blog keroyokan yang dominan memiliki warna biru ini—sekalipun itu tulisan untuk kategori "diary".

Tidak juga menulis semata-mata mengejar viral. 

Baca juga:

Berkarya Demi Viral, Yakin Brandingmu Sudah Personal? 

Baca juga:

Dalam Berkarya Semua Orang Punya Formula, Ini Salah Satu di Antaranya

Sebuah wadah. 

Jika dihitung sejak tulisan pertama saya yang saya buat di bulan Februari yang lalu, secara teknis saya boleh dikatakan sebagai anak baru.

Namun, sebagai anak baru bukan berarti saya tidak belajar banyak hal di Kompasiana. 

Siapapun yang bersinggungan langsung dengan menulis di sini akan sepakat bahwa Kompasiana adalah tempat berkumpulnya orang-orang dengan berbagai latar belakang dan berbagai keahlian. 

Tak sulit menemukan tulisan-tulisan hebat di Kompasiana. Dari tulisan dengan bahasa ilmiah yang dibuat oleh mereka para akademisi atau para profesional hingga tulisan yang berdasarkan kehidupan sehari-hari yang begitu sederhana namun memiliki arti lebih. 

Pun tulisan yang ditulis dengan—sangat—serius hingga tulisan seputar hobi (baca: bahkan sangat ringan untuk dibaca) yang dengan secara cukup mengejutkan memperoleh banyak kunjungan melalui mesin pencari. 

Saya membacanya (baca: tulisan-tulisan di Kompasiana) meski tentu saja tak semua dalam "jangkauan" saya.

Bukankah kita masih dibatasi waktu dan selera dalam membaca sebuah bacaan?

Saya pun demikian sebenarnya. 

Newbie. 

Tapi, meskipun begitu—meskipun saya anak baru atau newbie—saya berusaha mencoba ramah. 

Walau tak melulu selalu meninggalkan komentar, namun saya berusaha mengapresiasi tiap tulisan yang saya baca. Tak peduli itu ditulis oleh Kompasianer bercentang hijau atau biru atau para Kompasianer yang statusnya tidak pada keduanya. 

Dengan kata lain, jika saya mengapresiasi atau mengomentari satu tulisan dari seorang Kompasianer berarti saya membaca tulisan tersebut. Namun, jika tidak keduanya, percayalah, saya mungkin membacanya, tapi tidak menarik bagi saya—atau memang belum (bisa jadi juga tidak) saya baca sama sekali.
Sesederhana itu.

Saya terkadang perlu merasa berkata jujur, itu saja—dan obyektif. 

Yang hilang.

Dan seperti kita tahu bersama, sebelum mendapatkan label sebagai Kompasianer terverifikasi (baca: centang biru), seorang Kompasianer akan berada di status "hijau" terlebih dahulu—alih-alih memang belum tervalidasi centang. 

Sejujurnya, saya tidak tahu dengan jelas dan terperinci bagaimana para admin Kompasiana menentukan para Kompasianer untuk layak mendapat centang biru pada akunnya. 

Saya rasa, ini pula yang menjadi pertanyaan para Kompasianer yang mungkin lebih senior menulis dibandingkan saya (baca: yang baru beberapa bulan bergabung menulis sejak Februari lalu)—jika tidak ingin sebenarnya disebut sedikit agak kecewa. 

Bagi Kompasianer yang telah lama menulis di Kompasiana, status hijau berganti biru adalah sesuatu yang ditunggu.

Bagaimana tidak, tulisan yang di-posting sudah terbilang banyak karena menulis dengan rutin, poin yang dikumpulkan pun sudah ribuan, dan "mata" yang membaca juga tidak bisa dikatakan sedikit.

Mungkin tidak berlebihan saya katakan jika boleh jadi ada terselip rasa iri karena hal ini.

Tapi, bagi saya yang terbilang anak baru, ini adalah suatu kejutan. 

Namun, meski ada luapan rasa senang dengan status baru saya ini, jujur saya akui ada sesuatu yang "hilang". 

Centang biru telah meniadakan satu tantangan yang hanya bisa dirasakan oleh Kompasianer bercentang hijau atau yang belum tervalidasi.
Setidaknya, itu yang saya rasakan sekarang. 

Notifikasi saat dikonfirmasi centang biru. (Sumber: Akun Kompasiana saya) 
Notifikasi saat dikonfirmasi centang biru. (Sumber: Akun Kompasiana saya) 

Centang biru tak dapat menghadirkan ulang rasa greget yakni berupa tantangan untuk mendapatkan label "pilihan" yang boleh saya katakan cukup prestisius. Karena jika seorang Kompasianer telah bercentang biru pada akunnya maka segala tulisan yang dibuatnya otomatis mendapat label "pilihan". 

Dengan kata lain, boleh saya katakan Kompasianer yang belum bercentang biru lah yang sejatinya pejuang—berjuang merebut perhatian para admin dengan tulisannya.

Karena bagi Kompasianer hijau atau non centang, label "pilihan" hanya akan diberikan untuk tulisan yang dirasa "layak" dengan segala pertimbangannya—dan yang bercentang biru tidak lagi merasakan hal ini. Tulisan mereka—kita (baca: yang bercentang biru)—sekarang hanya lebih berjuang untuk "artikel utama" atau "nilai tertinggi" atau label "terpopuler" atau "tren pekan ini".

Jadi, bagaimana, apakah saya pantas mendapatkan centang biru ini mengingat saya masih anak baru dan artikel yang saya tulis belum terlalu banyak? 

Saya tidak tahu penilaian orang-orang terhadap saya bagaimana sekarang, tidak juga terlalu ingin mempedulikannya. 

Saya justeru hanya tertarik untuk lebih banyak membaca dan menulis lagi tentang apapun yang menarik perhatian saya—yang membuat saya gelisah—sembari menikmati secangkir kopi tentu saja. 

Dan ssssttt... Kompasiana tak ubahnya majalah, jadi jangan sampai membuat kita naik darah. 

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun