Bagaimana tidak, tulisan yang di-posting sudah terbilang banyak karena menulis dengan rutin, poin yang dikumpulkan pun sudah ribuan, dan "mata" yang membaca juga tidak bisa dikatakan sedikit.
Mungkin tidak berlebihan saya katakan jika boleh jadi ada terselip rasa iri karena hal ini.
Tapi, bagi saya yang terbilang anak baru, ini adalah suatu kejutan.Â
Namun, meski ada luapan rasa senang dengan status baru saya ini, jujur saya akui ada sesuatu yang "hilang".Â
Centang biru telah meniadakan satu tantangan yang hanya bisa dirasakan oleh Kompasianer bercentang hijau atau yang belum tervalidasi.
Setidaknya, itu yang saya rasakan sekarang.Â
Centang biru tak dapat menghadirkan ulang rasa greget yakni berupa tantangan untuk mendapatkan label "pilihan" yang boleh saya katakan cukup prestisius. Karena jika seorang Kompasianer telah bercentang biru pada akunnya maka segala tulisan yang dibuatnya otomatis mendapat label "pilihan".Â
Dengan kata lain, boleh saya katakan Kompasianer yang belum bercentang biru lah yang sejatinya pejuang—berjuang merebut perhatian para admin dengan tulisannya.
Karena bagi Kompasianer hijau atau non centang, label "pilihan" hanya akan diberikan untuk tulisan yang dirasa "layak" dengan segala pertimbangannya—dan yang bercentang biru tidak lagi merasakan hal ini. Tulisan mereka—kita (baca: yang bercentang biru)—sekarang hanya lebih berjuang untuk "artikel utama" atau "nilai tertinggi" atau label "terpopuler" atau "tren pekan ini".
Jadi, bagaimana, apakah saya pantas mendapatkan centang biru ini mengingat saya masih anak baru dan artikel yang saya tulis belum terlalu banyak?Â
Saya tidak tahu penilaian orang-orang terhadap saya bagaimana sekarang, tidak juga terlalu ingin mempedulikannya.Â
Saya justeru hanya tertarik untuk lebih banyak membaca dan menulis lagi tentang apapun yang menarik perhatian saya—yang membuat saya gelisah—sembari menikmati secangkir kopi tentu saja.Â
Dan ssssttt... Kompasiana tak ubahnya majalah, jadi jangan sampai membuat kita naik darah.Â