Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

6 Catatan Monoton yang Membuat Sinetron Jenuh Ditonton

9 September 2021   03:06 Diperbarui: 9 September 2021   03:31 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tokoh antagonis yang selalu menganiaya si protagonis. (Sumber: Hipwee.com)

Saya tidak tertarik untuk menonton sinetron.

Minat saya sudah hilang untuk itu (baca: menonton sinetron), saya bahkan tidak ingat kapan terakhir saya merasa antusias sehingga sekalipun saya dibekap kejenuhan—dan meski segala macam hobi yang saya sukai sudah saya lakukan—menonton sinetron tidak masuk dalam hitungan penghilang rasa bosan.

Dan tentu saja bukan sebuah kebetulan
(baca: setidaknya, saya punya alasan kuat dan juga "senjata" untuk membuat tulisan ini), beberapa hari belakangan saya menonton ulang kedelapan seri film HarryPotter. Dengan ditemani secangkir kopi dan sedikit camilan, saya tak masalah membuang menit demi menit saya untuk menontonnya.

Mungkin orang-orang sudah biasa melihat sapu terbang di dunia sihir—atau pernah mendengar seseorang tahu-tahu bisa berpindah tempat dalam sekejap—tapi tidak dengan gambar yang bergerak di kolom koran atau yang dipasang di dinding sebagai pajangan—atau seekor burung hantu yang menggantikan tugas merpati dalam mengantar surat, dan lain sebagainya; yang saya sebutkan hanya beberapa, dan tentu saja semuanya diluar kekuatan "jantung" cerita.

Hingga detik ini (baca: sejak saya kali pertama membaca novel perdananya atau bahkan sejak kurun waktu bagian kedua film dari novel ketujuhnya diangkat ke layar lebar pada tahun 2011 silam) saya masih menaruh kagum pada seorang J.K. Rowling; janda—yang tadinya miskin—beranak satu ini adalah salah satu dari beberapa jajaran novelis fiksi fantasi kesayangan saya). Saya masih terbius Harry Potter—berikut novel dan filmnya.

Rowling telah memikat hati saya (baca: dan telah memenangkannya pula) dengan cerita magis rekaannya; membuat saya sepenuhnya percaya tentang bagaimana ajaibnya daya imajinasi manusia; yang pula turut mampu memengaruhi orang lain untuk—setidaknya—meyakini bahwa segala sesuatu yang mustahil mungkin bisa saja terjadi; ia mahir "bereksperimen" lewat cerita.

Hey, Rowling, you've done it.

Daniel Radcliffe berjodoh memerankan Harry Potter untuk ketujuh novel J. K. Rowling. (Sumber: Via IDN Times) 
Daniel Radcliffe berjodoh memerankan Harry Potter untuk ketujuh novel J. K. Rowling. (Sumber: Via IDN Times) 

Saya rasa jika memang ada sekolah sihir semacam Hogwarts di dunia nyata, saya mungkin akan mencari sejuta cara untuk mencatatkan nama saya sebagai salah satu siswanya. Oh, tentu saja tujuannya bukan untuk bermaksud mempelajari sihir hitam. Sekalipun masuk Slytherin, tak akan jadi masalah untuk saya.

Pada intinya—setelah panjang lebar—simpulan saya berakhir dengan: saya belum menemukan alasan yang pas untuk tertarik menonton sinetron.

Tentu saja, bukan berarti saya suka menonton sinetron—alih-alih kecanduan.

Karena tanpa perlu menamatkan jalan cerita (baca: sekedar informasi almarhumah mama saya yang menjadikan sinetron sebagai tontonan kesukaan—dan Bapak saya yang sejak masuk usia lansia lebih suka duduk manis di depan televisi menonton beberapa sinetron meski tak penuh jam waktunya dari awal tayang hingga berakhirnya; dengan kata lain, dialog-dialog antar tokoh sinetron yang tak sengaja saya dengar ketika orangtua saya menonton yang jadi bahan ocehan saya dalam tulisan ini) saya sudah mogok duluan di tengah-tengah.

Dunia kreativitas sinema elektronik—sinetron—negeri ini sungguh sudah gawat—atau parah (baca: atau boleh jika saya sebut secara frontal dengan kata: menyedihkan).

Kalimat saya di atas adalah pernyataan tegas—dan sepihak saya—serta tentu saja sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Tak ada yang boleh menggugat pendapat saya selama saya menempatkan dengan sadar diri saya di bawah atap penilaian "selera" yang saya buat sendiri—orang lain juga berhak melakukan yang sama, jika mereka menginginkannya. Setara.

Karena sejatinya—bagi saya pribadi—selera berpulang pada penilaian (baca: masing-masing orang) setelah menjalani proses pengamatan—atau merasakan.

Setidaknya ada 6 hal yang kerap berulang yang saya catat di setiap jalan cerita sinetron-sinetron yang seringkali sama—dan andaikata saya ditempatkan sebagai pengkritik dengan selera nyaris mencapai langit—atau dengan kata lain jika ada satu atau beberapa dari keenamnya masuk dalam unsur cerita satu produksi sinetron maka saya tak akan menggubrisnya, alih-alih tertarik menontonnya. 


#1 Jurus 1.000 cara

Siapa yang tidak ingin kaya raya? Siapa yang tidak ingin punya uang banyak dengan atau tanpa diiringi status sosial terpandang di mata orang-orang?

Ya, demi harta atau warisan, beberapa orang—katanya—akan melakukan apapun, termasuk dengan melakukan tindakan kriminal atau parahnya dengan melenyapkan nyawa seseorang. Tapi, saban kali begini ya, gimana gitu? 

Sudah sangat banyak sinetron menyajikan "gaya" bercerita seperti ini—dan pertanyaannya adalah:

apakah para rumah produksi tidak bosan mencekoki penonton dengan jalan cerita yang demikian?!

Ya, Tuhan.

J. K Rowling novelis pencipta Harry Potter berikut dunia sihirnya. (Sumber: Via Detik Hot)
J. K Rowling novelis pencipta Harry Potter berikut dunia sihirnya. (Sumber: Via Detik Hot)

#2 The good and the bad.

Selalu ada si baik dan si jahat. Tidak ada yang salah. Lazimnya memang harus demikian supaya orang-orang yang menonton sinetron dapat memetik hikmah.

Tapi, tidak juga dengan keadaan yang selalu teraniaya kan?

Jujur yang ingin saya katakan, sinetron yang menampilkan si protagonis yang rela disakiti berkali-kali tanpa memiliki daya untuk sekadar melawan bukanlah sinetron yang layak mendapat perhatian.

Realistislah sedikit, apakah dalam kehidupan nyata seseorang akan nyaman diperlakukan demikian?

Saya mah ogah, antrian saya diserobot saja, saya langsung bikin orang tersebut skakmat dengan nyinyir frontal.
Ups.

#3 Eh si doi nongol lagi

Miracle can happens. Absoluetly yes!

Tapi, bukan berarti banyak sinetron harus "latah" mengadopsi jalan cerita dengan menampilkan sang tokoh yang sudah diketahui meninggal karena kecelakaan atau karena sakit keras, kemudian eh tiba-tiba nongol lagi seolah punya nyawa cadangan.

Atau, kalaupun pada akhirnya salah satu pemain sinetron (baca: biasanya pemain utama atau pemain pendukung utama) tak tertolong, tiba-tiba muncul tokoh yang seratus persen sama dengan atau tanpa identitas yang berbeda.

Di dunia ini apakah ada orang yang benar-benar identik sama dengan kita tapi tidak ada riwayat pertalian darah?

Oh, c'mon, kepalang basah lebih baik bikin sinetron genre fantasi supaya itu terkesan wajar. Ya nggak?

Ilustrasi tokoh antagonis yang selalu menganiaya si protagonis. (Sumber: Hipwee.com)
Ilustrasi tokoh antagonis yang selalu menganiaya si protagonis. (Sumber: Hipwee.com)

Dan tolong alur ceritanya jangan cenderung dibuat-buat atau sengaja dipaksakan.
Mari tarik napas dan keluarkan.

#4 Aku cinta dia tapi dia cinta yang lainnya

Perselingkuhan dan atau orang ketiga masih jadi magnet para rumah produksi untuk membuat satu sinetron—apalagi yang jadi korban magnetnya kebanyakan adalah kaum para puan terutama ibu-ibu.


Tentu saja yang jadi perundungan adalah si orang ketiga.
Cikal bakalnya apa lagi kalau bukan pernikahan akibat perjodohan atau kisah cinta karena tekanan.
Oalah.

#5 Salah atau sengaja ditukar

Ayo coba dihitung sudah berapa banyak sinetron yang menjadikan tukar-tukar anak sebagai bagian dari jalan ceritanya?

Si Ani ternyata bapaknya si Anu bukan si Ono; oh ternyata ibunya si Ana itu si Ina bukan si Nia.

Sungguh perbuatan zalim bukan—dengan tega—mengaburkan identitas anak yang tidak berdosa dan memisahkannya dengan orangtua kandungnya?—dan kok yo terlalu sering topik ini hadir dalam sinetron-sinetron?
Hiks.


#6 Who am I?

Tak afdol rasanya tak memasukkan poin "lupa ingatan" alias insomnia, eh maksudnya amnesia ke dalam poin di tulisan ini.

Amnesia sangat lazim ada di sinetron-sinetron kita dan sejujurnya saya sudah bosan dengan "gaya" ini.


Pada akhirnya, mau jumlah tayangnya seminggu sekali kek atau setiap hari; mau keseluruhan ceritanya lima puluh dua kali dalam setahun kek atau tiga ratus enam puluh lima kali tanpa kecuali, saya berharap keenam catatan saya dalam tulisan ini tidak lagi sering muncul (baca: syukur-syukur hilang) di sinetron-sinetron di masa akan datang.

Rating boleh saja bicara tapi bukan berarti di atas segala-galanya.

Tabik.



HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun