Saya tidak tertarik untuk menonton sinetron.
Minat saya sudah hilang untuk itu (baca: menonton sinetron), saya bahkan tidak ingat kapan terakhir saya merasa antusias sehingga sekalipun saya dibekap kejenuhan—dan meski segala macam hobi yang saya sukai sudah saya lakukan—menonton sinetron tidak masuk dalam hitungan penghilang rasa bosan.
Dan tentu saja bukan sebuah kebetulan
(baca: setidaknya, saya punya alasan kuat dan juga "senjata" untuk membuat tulisan ini), beberapa hari belakangan saya menonton ulang kedelapan seri film HarryPotter. Dengan ditemani secangkir kopi dan sedikit camilan, saya tak masalah membuang menit demi menit saya untuk menontonnya.
Mungkin orang-orang sudah biasa melihat sapu terbang di dunia sihir—atau pernah mendengar seseorang tahu-tahu bisa berpindah tempat dalam sekejap—tapi tidak dengan gambar yang bergerak di kolom koran atau yang dipasang di dinding sebagai pajangan—atau seekor burung hantu yang menggantikan tugas merpati dalam mengantar surat, dan lain sebagainya; yang saya sebutkan hanya beberapa, dan tentu saja semuanya diluar kekuatan "jantung" cerita.
Hingga detik ini (baca: sejak saya kali pertama membaca novel perdananya atau bahkan sejak kurun waktu bagian kedua film dari novel ketujuhnya diangkat ke layar lebar pada tahun 2011 silam) saya masih menaruh kagum pada seorang J.K. Rowling; janda—yang tadinya miskin—beranak satu ini adalah salah satu dari beberapa jajaran novelis fiksi fantasi kesayangan saya). Saya masih terbius Harry Potter—berikut novel dan filmnya.
Rowling telah memikat hati saya (baca: dan telah memenangkannya pula) dengan cerita magis rekaannya; membuat saya sepenuhnya percaya tentang bagaimana ajaibnya daya imajinasi manusia; yang pula turut mampu memengaruhi orang lain untuk—setidaknya—meyakini bahwa segala sesuatu yang mustahil mungkin bisa saja terjadi; ia mahir "bereksperimen" lewat cerita.
Hey, Rowling, you've done it.
Saya rasa jika memang ada sekolah sihir semacam Hogwarts di dunia nyata, saya mungkin akan mencari sejuta cara untuk mencatatkan nama saya sebagai salah satu siswanya. Oh, tentu saja tujuannya bukan untuk bermaksud mempelajari sihir hitam. Sekalipun masuk Slytherin, tak akan jadi masalah untuk saya.
Pada intinya—setelah panjang lebar—simpulan saya berakhir dengan: saya belum menemukan alasan yang pas untuk tertarik menonton sinetron.
Tentu saja, bukan berarti saya suka menonton sinetron—alih-alih kecanduan.