Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Sebuah Memoar: Palembang yang Selalu Tak Pernah Riang Saat Karhutla Menerjang

8 September 2021   00:39 Diperbarui: 10 September 2021   14:53 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana kota Palembang saat karhutla parah di September 2019. (Sumber: Dokumentasi pribadi | Foto oleh Kazena Krista) 

Waktu adalah cerita. Cerita adalah peradaban. Tidak ada waktu tidak ada cerita, tidak ada peradaban—yang bisa diceritakan. 

Oh, ya, tentu saja saya sedang mencoba untuk sedikit pandai berkata-kata—alih-alih mengakui diri sebagai seorang pencerita ulung, saya lebih pantas menyebut kalau saya masihlah seseorang yang payah dalam hal itu. 

Pemilihan kata saya dalam mengolah kalimat atau mendeskripsikan sesuatu tidak benar-benar baik. Jikapun harus disandingkan dengan penulis-penulis kesayangan saya (baca: terutama penulis-penulis fiksi fantasi), saya hanyalah rengginang dalam kaleng biskuit Khong Guan yang sama sekali tak berharap dapat mengejutkan banyak orang—meski saya akan menganggap kejadian yang sangat luar biasa jika Roald Dahl, atau J. R. R. Tolkien atau C.S. Lewis, atau Rick Riordan atau bahkan J. K. Rowling bersedia duduk di hadapan saya secara langsung dan berbagi cara bercerita ala mereka. 

Baiklah, simpan ocehan saya tentang mereka. Bukan itu yang ingin saya ceritakan dalam tulisan ini. 

Menyoal bercerita (baca: berkenaan pada proses kreatifnya) baik untuk menulis atau storytelling melalui fotografi jalanan—kalau boleh jujur pada praktiknya—saya punya cara saya sendiri yakni jalan-jalan sendirian.

Baca juga: 5 Hal yang Harus Dipikirkan Para Puan Saat Melakukan Street Photography Sendirian

Jalan-jalan sendirian yang saya maksud tak selalu punya tujuan tempat yang jelas—dan tak harus selalu mengeluarkan uang kalau boleh saya tambahkan, asalkan bensin tersedia dan tumbler saya berisi air putih yang cukup untuk beberapa jam berkeliaran. 

Baca juga: Every Picture Tells Story dan Ini 5 Alasan yang Membuat Saya Mencintai Fotografi 

Bagi saya, itu (baca: jalan-jalan sendirian) memiliki nilai tersendiri karena saya dapat menyaksikan secara langsung tiap denyut kehidupan yang ada yang tersaji di depan mata saya—dan tentu saja hal tersebut tak mungkin bisa diceritakan jika saya selalu berdiam di rumah tanpa menghabiskan kuota atau tanpa membaca. 

Namun, menyoal jalan-jalan sendirian yang kerap saya lakukan, saya jadi teringat hari-hari sepanjang kemarau pada September dua tahun lalu. 

Keadaan Palembang pada ketika itu sedang tidak baik—benar-benar sangat tidak baik yang pernah saya ingat.

Palembang saat itu sedang dikepung asap, lebih tepatnya kabutasap—yang tentu saja bukan asap yang mungkin kerap masih dapat dilihat sesudah subuh menjelang terangnya pagi (baca: yang diakibatkan sisa-sisa embun)—melainkan asap yang diakibatkan karhutla. 

Bukan sesuatu yang mengejutkan memang karena kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera Selatan sudah menjadi langganan, dan Palembang sering terkena dampaknya. 

Sebelum kabut asap karhutla parah di 2019 (baca: yang menjadi jantung tulisan ini; yang terparah menurut saya), empat tahun sebelumnya juga demikian. 

Saya tidak ingin mengambil porsi mereka yang ahli dalam urusan karhutla ini— apalagi menjadi orang yang sok paling tahu dengan membagi hal-hal teknis menyoal data dan lain sebagainya—saya hanya ingin berbagi cerita kalau hari-hari pada waktu itu membuat saya tidak semangat sama sekali berkegiatan di luar rumah. Saya frustrasi. 

Jika boleh berkata jujur, saya menyesalkan (baca: sangat berang dan benar-benar marah sebenarnya) tentang mengapa keadaan seperti ini kerap berulang?! 

Tak satu hari pun saya tak berharap turunnya hujan untuk menghapus kabut asap yang berkepanjangan. Karena  hujan buatan dari helikopter yang berasal dari pemerintah tak terlalu cukup membantu. 

Bisa kau bayangkan, kawan, ketika pagi jarak pandang pada saat itu sangat terbatas (baca: dengan kalkukasi perhitungan saya) yang hanya dua ratus meter untuk radius terjauh—dan sejauh mata memandang sepanjang kau melewati hari-harimu, semuanya berwarna kekuningan; ini tanda konkret kalau udara Palembang tidak sehat bagi siapapun yang menghirupnya—jika tidak ingin disebut dalam level berbahaya. 

Tak heran segala antisipasi saya gunakan sebelum berkegiatan di luar rumah seperti mengenakan masker, menyalakan lampu kendaraan termasuk pula mengurangi laju kecepatan.

(baca: oh, tentu saja kengerian yang diakibatkan oleh kabut asap karhutla tak cuma soal gangguan pernapasan, melainkan kecelakaan—if you know what i mean)

Dan, tentu saja, pada akhirnya berdiam diri di rumah jika tidak ada keperluan yang benar-benar mendesak adalah keputusan yang sangat tepat dan bijak (baca: seolah menjadi latihan terhadap diri sendiri sejak virus covid19 masuk Indonesia). 

Belakangan, menurut info yang saya baca di sejumlah kanal berita di internet, beberapa daerah di Sumatera Selatan sedang mengulang siklus ini—hanya saja Palembang belum terlalu terkena dampaknya—setidaknya sejauh pengamatan saya. Saya berharap saya tak melewatkan banyak hal yang membuat pengamatan saya keliru. 

Entah sudah berapa banyak hutan dan lahan yang sudah terbakar—dan berapa banyak lagi yang akan terbakar—pada kemarau tahun ini—dan tahun-tahun yang akan datang?! 

September ceria, katanya. Tapi, Palembang di September 2019 adalah Savetember versi saya. 

Seperti yang saya katakan di awal, saya bukan pencerita ulung dan tulisan ini tak lebih dari sekedar berbagi tentang hari-hari sepanjang kemarau beserta hal yang tak mengenakkan yang saya rasakan ketika itu. 

Namun, yang saya tahu, terkadang ada hak-hak orang lain yang terampas demi melenggangkan sesuatu yang sebagian orang sebut dengan "keinginan". 

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun