Jika boleh berkata jujur, saya menyesalkan (baca: sangat berang dan benar-benar marah sebenarnya)Â tentang mengapa keadaan seperti ini kerap berulang?!Â
Tak satu hari pun saya tak berharap turunnya hujan untuk menghapus kabut asap yang berkepanjangan. Karena  hujan buatan dari helikopter yang berasal dari pemerintah tak terlalu cukup membantu.Â
Bisa kau bayangkan, kawan, ketika pagi jarak pandang pada saat itu sangat terbatas (baca: dengan kalkukasi perhitungan saya) yang hanya dua ratus meter untuk radius terjauh—dan sejauh mata memandang sepanjang kau melewati hari-harimu, semuanya berwarna kekuningan; ini tanda konkret kalau udara Palembang tidak sehat bagi siapapun yang menghirupnya—jika tidak ingin disebut dalam level berbahaya.Â
Tak heran segala antisipasi saya gunakan sebelum berkegiatan di luar rumah seperti mengenakan masker, menyalakan lampu kendaraan termasuk pula mengurangi laju kecepatan.
(baca: oh, tentu saja kengerian yang diakibatkan oleh kabut asap karhutla tak cuma soal gangguan pernapasan, melainkan kecelakaan—if you know what i mean)
Dan, tentu saja, pada akhirnya berdiam diri di rumah jika tidak ada keperluan yang benar-benar mendesak adalah keputusan yang sangat tepat dan bijak (baca: seolah menjadi latihan terhadap diri sendiri sejak virus covid19 masuk Indonesia).Â
Belakangan, menurut info yang saya baca di sejumlah kanal berita di internet, beberapa daerah di Sumatera Selatan sedang mengulang siklus ini—hanya saja Palembang belum terlalu terkena dampaknya—setidaknya sejauh pengamatan saya. Saya berharap saya tak melewatkan banyak hal yang membuat pengamatan saya keliru.Â
Entah sudah berapa banyak hutan dan lahan yang sudah terbakar—dan berapa banyak lagi yang akan terbakar—pada kemarau tahun ini—dan tahun-tahun yang akan datang?!Â
September ceria, katanya. Tapi, Palembang di September 2019 adalah Savetember versi saya.Â
Seperti yang saya katakan di awal, saya bukan pencerita ulung dan tulisan ini tak lebih dari sekedar berbagi tentang hari-hari sepanjang kemarau beserta hal yang tak mengenakkan yang saya rasakan ketika itu.Â
Namun, yang saya tahu, terkadang ada hak-hak orang lain yang terampas demi melenggangkan sesuatu yang sebagian orang sebut dengan "keinginan".Â
Tabik.